Karakteristik Peserta Didik/Siswa di Sekolah Dasar

Tags

Karakteristik Peserta Didik (Siswa) di Sekolah Dasar 

Dalam memahami karakterisitik siswa atau peserta didik sekolah dasar tentunya kita harus meihat kembali dengan sifat khas yang tentunya berbeda-beda pada diri setiap individu. Untuk itu, ada beberapa aspek yang perlu diketahui seperti berikut ini: 

1. Aspek Fisik dan Motorik 

Perkembangan fisik pada diri peserta didik usia Sekolah Dasar dapat dicirikan dengan berbagai variasi dalam pola pertumbuhannya. Keberagaman ini dikarenakan beberapa faktor yang meliputi: tercukupnya asupan gizi, kondisi lingkungan siswa, genetika, hormon, jenis kelamin, asal etnis/suku, serta adanya penyakit/gangguan yang diderita. 

Pada tahap ini pertumbuhan fisik bisa berlangsung sehingga peserta didik menjadi lebih tinggi, lebih berat, lebih kuat. Dan seiring dengan waktu, pertumbuhan fisik peserta didik akan beranjak matang, sehingga perkembangan motorik siswa/peserta didik sudah bisa diatur dengan baik. 

Setiap gerakannya sudah seimbang dengan kebutuhan atau minatnya, bisa menggerakan anggota badannya dengan tujuan yang baik, seperti:

  • Menggerakan tangan dalam menulis, membuat gambar. mengambil makanan, serta melempar, dll. 
  • Menggerakan kaki untuk menendang bola dan lari mengejar teman pada saat main kucing-kucingan. 
Pada tahap atau usia sekolah dasar atau pada usia 7 – 12 tahun, karakter peserta didik ditandai dengan adanya gerak atau aktivitas motorik yang lebih lincah. Oleh sebab itu, usia ini merupakan masa yang ideal untuk belajar keterampilan yang berkaitan dengan motorik, baik motorik halus maupun motorik kasar. 

2. Aspek Kognitif 

Pada saat usia sekolah dasar, individu sudah dapat merespon rangsangan intelektual, atau melaksanakan tugas-tugas belajar yang menuntut dalam kemampuan intelektual atau kemampuan kognitif (seperti: menulis, membaca, dan menghitung atau CALISTUNG). 

Karakteristik Peserta Didik/Siswa di Sekolah Dasar

Sebelum pada fasse ini, yaitu masa prasekolah (usia Taman Kanak-kanak), daya pikir individu masih bersifat imajinatif, berangan-angan atau berkhayal, sedangkan pada usia sekolah dasar daya pikir individu atau pesrta didik sudah berkembang ke arah berpikir kongkrit dan rasional. 

Dilihat dari aspek perkembangan kognitif, menurut Piaget fase ini berada pada tahap operasi kongkrit, yang ditandai dengan kemampuan 
  1. Mengklasifikasikan (mengelompokkan) benda-benda berdasarkan ciri yang sama, 
  2. Menyusun atau mengasosiasikan (menghubungkan atau menghitung) angka-angka atau bilangan, dan
  3. Memecahkan masalah (problem solving) yang sederhana. 
Kemampuan intelektual pada masa ini sudah cukup untuk menjadi dasar diberikannya berbagai kecakapan yang dapat mengembangkan pola pikir atau daya nalarnya. Kepada anak sudah bisa diberikan dasar-dasar keilmuan, seperti membaca, menulis, dan berhitung (CALISTUNG). 

Pada usia 11 tahun tahapan perkembangan kognitif memasuki tahap operasional formal ditandai dengan mampu berpikir abstrak, menalar secara logis dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. 


Di samping itu, kepada anak juga sudah dapat diberikan dasar-dasar pengetahuan yang terkait dengan kehidupan manusia, hewan, lingkungan alam, lingkungan sosial budaya, dan agama. Untuk mengembangkan daya nalarnya, daya cipta, atau kreativitas anak, maka kepada anak perlu diberi peluang-peluang untuk bertanya, berpendapat, atau menilai (memberikan kritik) tentang berbagai hal yang terkait dengan pelajaran, atau peristiwa yang terjadi di lingkungannya. 

3. Aspek Sosial 

Perkembangan sosial peserta didik usia SD ditandai dengan adanya perluasan hubungan, di samping dengan para anggota keluarga, juga dengan teman sebaya (peer group), sehingga ruang gerak hubungan sosialnya telah bertambah luas. Pada usia SD, anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri dari sikap berpusat kepada diri sendiri (egosentris) kepada sikap bekerjasama (kooperatif) atau mau memperhatikan kepentingan orang lain (sosiosentris). 

Anak mulai berminat terhadap kegiatan bersama teman sebaya, dan bertambah kuat keinginannya untuk diterima menjadi anggota kelompok (gang), merasa tidak senang apabila ditolak oleh kelompoknya dan dapat menyesuaikan dirinya dengan kelompok teman sebaya maupun lingkungan masyarakat sekitarnya. 

Dalam proses belajar di sekolah, kematangan perkembangan sosial ini dapat dimanfaatkan atau dimaknai dengan memberikan tugas-tugas kelompok, baik yang membutuhkan tenaga fisik (seperti membersihkan kelas dan halaman sekolah), maupun tugas yang membutuhkan pikiran (seperti merencanakan kegiatan berkemah dan membuat laporan study tour). 

Tugas-tugas kelompok ini harus memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik untuk menampilkan prestasinya, dan juga diarahkan untuk mencapai tujuan bersama. Dengan melaksanakan tugas kelompok, peserta didik dapat belajar tentang sikap dan kebiasaan dalam bekerja sama, saling menghormati, bertenggang rasa, dan bertanggung jawab.  

4. Aspek Emosi

Pada usia Sekolah Dasar (khususnya di kelas-kelas tinggi, kelas 4, 5, dan 6), anak mulai menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidaklah diterima, atau tidak disenangi oleh orang lain. Anak SD belajar untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya melalui peniruan dan latihan (pembiasaan). 

Dalam proses peniruan, kemampuan orangtua atau guru dalam mengendalikan emosinya sangatlah berpengaruh. Apabila anak dikembangkan di lingkungan keluarga yang suasana emosionalnya stabil, maka perkembangan emosi anak cenderung stabil atau sehat. Sebaliknya apabila kebiasaan orangtua atau guru dalam mengekspresikan emosinya kurang stabil atau kurang kontrol (seperti: marah-marah, mengeluh), maka perkembangan emosi anak, cenderung kurang stabil atau tidak sehat.  

Emosi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tingkah laku individu, dalam hal ini termasuk pula perilaku belajar. Emosi positif seperti: perasaan senang, bergairah, bersemangat atau rasa ingin tahu yang tinggi akan mempengaruhi individu untuk mengkonsentrasikan dirinya terhadap aktivitas belajar, seperti memperhatikan penjelasan guru, membaca buku, aktif berdiskusi, mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah, dan disiplin dalam belajar. 

Sebaliknya, apabila emosi yang menyertai proses belajar itu emosi negatif, seperti perasaan tidak senang, kecewa, maka proses belajar tersebut akan mengalami hambatan, dalam arti individu tidak dapat memusatkan perhatiannya untuk belajar, sehingga kemungkinan besar dia akan mengalami kegagalan dalam belajarnya. Mengingat hal tersebut, maka guru Sekolah Dasar seyogianya mempunyai kepedulian untuk menciptakan suasana proses belajar-mengajar yang menyenangkan atau kondusif.

5. Aspek Moral 

Penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis. Peranan lingkungan terutama lingkungan keluarga sangat dominan dalam perkembangan aspek moral. Pada mulanya anak melakukan perbuatan bermoral dari meniru (mengamati) kemudian menjadi perbuatan atas prakarsa sendiri karena adanya kontrol atau pengawasan dari luar, namun kemudian berkembang karena kontrol dari dalam dirinya.  

Sampai usia 7 tahun, anak mulai memasukkan nilai-nilai keluarga ke dalam dirinya. Apa yang penting bagi orang tua juga akan menjadi penting baginya. Di sinilah orang tua dapat mengarahkan perilakunya, sehingga sesuai dengan aturan dalam keluarga. Dalam tahap inilah seorang anak mulai memahami bahwa apa yang mereka lakukan akan mempengaruhi orang lain.  

Pada usia 7-10 tahun, campur tangan orang dewasa (orangtua, guru, dan sebagainya) tidak lagi terlalu ‘menakutkan’ buat anak. Anak mengetahui bahwa orang tua adalah sosok yang harus ditaati, tetapi anak juga tahu bahwa jika melanggar aturan harus memperbaikinya. Perasaan bahwa ‘ini benar’ dan ‘itu salah’ sudah mulai tertanam kuat dalam diri anak. Anak usia ini juga mulai memilah mana saja perilaku yang akan mendatangkan ‘keuntungan’ buat mereka. 

6. Aspek Religius 

Kepercayaan anak kepada Tuhan pada usia ini, bukanlah keyakinan hasil pemikiran, akan tetapi merupakan sikap emosi yang berhubungan erat dengan kebutuhan jiwa akan kasih sayang dan perlindungan. 

Oleh karena itu dalam mengenalkan Tuhan kepada anak, sebaiknya ditonjolkan sifat-sifat pengasih dan penyayang. Sampai kira-kira usia 10 tahun, ingatan anak masih bersifat mekanis, sehingga kesadaran beragamanya hanya merupakan hasil sosialisasi orang tua, guru, dan lingkungannya. 

Oleh karena itu pengamalan ibadahnya masih bersifat peniruan, belum dilandasi kesadarannya. Pada usia 10 tahun ke atas, semakin bertambah kesadaran anak akan fungsi agama baginya, yaitu berfungsi moral dan sosial. 

Anak mulai dapat menerima bahwa nilai-nilai agama lebih tinggi dari nilai-nilai pribadi atau nilai-nilai keluarga. Anak mulai mengerti bahwa agama bukan kepercayaan pribadi atau keluarga, tetapi kepercayaan masyarakat. 

Periode usia Sekolah Dasar merupakan masa pembentukan nilai-nilai agama sebagai kelanjutan periode sebelumnya. Kualitas keagamaan anak sangat dipengaruhi oleh proses pembentukan atau pendidikan yang diterimanya. Oleh karena itu, pendidikan agama di Sekolah Dasar harus menjadi perhatian  semua pihak yang terkait, bukan hanya guru agama tetapi juga kepala sekolah dan guru-guru lainnya. 

Apabila pendidik sudah memberikan suri tauladan kepada anak dalam mengamalkan agama maka pada diri anak akan berkembang sikap yang positif terhadap terhadap agama, dan pada gilirannya akan berkembang pula kesadaran beragamanya. 

Artikel Terkait

Terimakasih Sudah Meluangkan Waktu Berkunjung Di Blog Ini 😁


EmoticonEmoticon