Mengapa
Diperlukan Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan Warga Negara Indonesia?
Pada Postingan
sebelumnya Anda telah memperoleh
pemahaman bahwa tradisi budaya Indonesia semenjak zaman kerajaan-kerajaan di
Nusantara lebih mengenal konsep kewajiban dibandingkan konsep hak. Mekanismenya
adalah kepatuhan tanpa reserve rakyat terhadap penguasa dalam hal ini raja atau
sultan sebagai bentuk penghambaan secara total.
Keadaan yang sama berlangsung
tatkala masa penjajahan di Nusantara di mana horizon kehidupan politik daerah
jajahan mendorong aspek kewajiban sebagai postulat ide dalam praksis kehidupan
politik, ekonomi, dan sosial budaya. Dua kekuatan inilah yang mengkonstruksi
pemikiran rakyat di Nusantara untuk mengedepankan kewajiban dan dalam
batas-batas tertentu melupakan pemerolehan hak, walaupun pada kenyataannya
bersifat temporal karena sebagaimana terekam dalam Max Havelaar rakyat yang
tertindas akhirnya memberontak menuntut hak-hak mereka.
Pergerakan budaya
rupanya mengikuti dinamika kehidupan sosial politik di mana tatkala hegemoni
kaum kolonial mulai dipertanyakan keabsahannya maka terjadilah perlawanan kaum
tertindas dimana-mana menuntut hak-haknya yang dirampas.
Sejak itulah konsep hak
mulai lebih mengemuka dan menggantikan konsep kewajiban yang mulai meredup.
Dewasa ini kita menyaksikan fenomena yang anomali di mana orang-orang menuntut hak
dengan sangat gigih dan jika perlu dilakukan dengan kekerasan, namun pada saat
tiba giliran untuk menunaikan kewajiban mereka itu tampaknya kehilangan gairah.
Dari dua keadaan yang kontras tersebut tentu saja memunculkan sejumlah
pertanyaan. Misalnya, lebih penting manakah kewajiban atau hak? Mana yang benar
melaksanakan kewajiban terlebih dahulu baru menuntut hak? Atau sebaliknya
menikmati hak terlebih dahulu baru menunaikan kewajiban? Atau mengharmonikan
kewajban dengan hak? Bagaimana caranya mengharmonikan kewajiban dengan hak
tersebut?
Terimakasih Sudah Meluangkan Waktu Berkunjung Di Blog Ini 😁
EmoticonEmoticon