Menelusuri Konsep dan Urgensi Harmoni Kewajiban
dan Hak Negara dan Warga Negara.
Dalam tradisi
budaya Indonesia semenjak dahulu, tatkala wilayah Nusantara ini diperintah
raja-raja, kita lebih mengenal konsep kewajiban dibandingkan konsep hak. Konsep
kewajiban selalu menjadi landasan aksiologis dalam hubungan rakyat dan
penguasa. Rakyat wajib patuh kepada titah raja tanpa reserve sebagai bentuk
penghambaan total.
Keadaan yang sama berlangsung tatkala masa penjajahan di
Nusantara, baik pada masa penjajahan Belanda yang demikian lama maupun masa
pendudukan Jepang yang relatif singkat. Horizon kehidupan politik daerah
jajahan mendorong aspek kewajiban sebagai postulat ide dalam praksis kehidupan
politik, ekonomi, dan sosial budaya. Lambat laun terbentuklah mekanisme
mengalahkan diri dalam tradisi budaya nusantara.
Bahkan dalam tradisi Jawa,
alasan kewajiban mengalahkan hak telah terpatri sedemikian kuat. Mereka masih
asing terhadap diskursus hak. Istilah kewajiban jauh lebih akrab dalam dinamika
kebudayaan mereka. Coba Anda cari bukti-bukti akan hal ini dalam buku-buku
sejarah perihal kehidupan kerajaan-kerajaan nusantara.
Walaupun demikian
dalam sejarah Jawa selalu saja muncul pemberontakan-pemberontakan petani,
perjuangan-perjuangan kemerdekaan atau protes-protes dari wong cilik melawan
petinggi-petinggi mereka maupun tuantuan kolonial (Hardiman, 2011). Aksi-aksi
perjuangan emansipatoris itu antara lain didokumentasikan Multatuli dalam buku
Max Havelaar yang jelas lahir dari tuntutan hak-hak mereka. Tak hanya itu, ide
tentang Ratu Adil turut memengaruhi lahirnya gerakan-gerakan yang bercorak
utopis.
Perjuangan
melawan imperialisme adalah bukti nyata bahwa sejarah kebudayaan kita tidak
hanya berkutat pada ranah kewajiban an sich. Para pejuang kemerdekaan melawan
kaum penjajah tak lain karena hak-hak pribumi dirampas dan dijarah. Situasi
perjuangan merebut kemerdekaan yang berpanta rei, sambung menyambung dan tanpa
henti, sejak perjuangan yang bersifat kedaerahan, dilanjutkan perjuangan menggunakan
organisasi modern, dan akhirnya perang kemerdekaan memungkinkan kita sekarang
ini lebih paham akan budaya hak daripada kewajiban.
Akibatnya tumbuhlah
mentalitas yang gemar menuntut hak dan jika perlu dilakukan dengan berbagai
cara termasuk dengan kekerasan, akan tetapi ketika dituntut untuk menunaikan
kewajiban malah tidak mau. Dalam sosiologi konsep ini dikenal dengan istilah
“strong sense of entitlement”.
Apa sebenarnya
yang dimaksud dengan hak dan kewajiban itu dan bagaimanakah hubungan keduanya.
Hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima
atau dilakukan oleh pihak tertentu dan tidak dapat oleh pihak lain mana pun
juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya.
Wajib adalah beban untuk memberikan sesuatu yang semestinya dibiarkan atau diberikan oleh pihak tertentu tidak dapat oleh pihak lain mana pun yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan. Kewajiban dengan demikian merupakan sesuatu yang harus dilakukan (Notonagoro, 1975).
Wajib adalah beban untuk memberikan sesuatu yang semestinya dibiarkan atau diberikan oleh pihak tertentu tidak dapat oleh pihak lain mana pun yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan. Kewajiban dengan demikian merupakan sesuatu yang harus dilakukan (Notonagoro, 1975).
Hak dan kewajiban
merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Menurut “teori korelasi” yang
dianut oleh pengikut utilitarianisme, ada hubungan timbal balik antara hak dan
kewajiban.
Menurut mereka, setiap kewajiban seseorang berkaitan dengan hak orang lain, dan begitu pula sebaliknya. Mereka berpendapat bahwa kita baru dapat berbicara tentang hak dalam arti sesungguhnya, jika ada korelasi itu, hak yang tidak ada kewajiban yang sesuai dengannya tidak pantas disebut hak. Hal ini sejalan dengan filsafat kebebasannya Mill (1996) yang menyatakan bahwa lahirnya hak Asasi Manusia dilandasi dua hak yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan.
Menurut mereka, setiap kewajiban seseorang berkaitan dengan hak orang lain, dan begitu pula sebaliknya. Mereka berpendapat bahwa kita baru dapat berbicara tentang hak dalam arti sesungguhnya, jika ada korelasi itu, hak yang tidak ada kewajiban yang sesuai dengannya tidak pantas disebut hak. Hal ini sejalan dengan filsafat kebebasannya Mill (1996) yang menyatakan bahwa lahirnya hak Asasi Manusia dilandasi dua hak yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan.
Hak kebebasan seseorang, menurutnya, tidak boleh
dipergunakan untuk memanipulasi hak orang lain, demi kepentingannya sendiri.
Kebebasan menurut Mill secara ontologis substansial bukanlah perbuatan bebas
atas dasar kemauan sendiri, bukan pula perbuatan bebas tanpa kontrol, namun
pebuatan bebas yang diarahkan menuju sikap positif, tidak mengganggu dan
merugikan orang lain.
1. Perihal
kebebasan
Bacalah On
Liberty--Perihal Kebebasan (1996), karya John Stuart Mill, Kata Pengantar dan
Penerjemah Alex Lanur. Kemudian jawablah
pertanyan-pertanyan berikut.
- Apa makna kebebasan menurut John Stuart Mill?
- Kinerja masyarakat secara sehat mampu menghasilkan individu-individu besar yang mandiri, kuat, terbuka dan kritis, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, untuk pada akhirnya sampai pada kebenaran. Apa kriteria kunci untuk mencapainya?
- Apa makna bahwa generasi yang ada sekarang bertanggung jawab atas generasi masa depan?
- John Stuart Mill berpandangan bahwa pendidikan yang bermutu membuka ruangruang diskusi yang bebas, kreatif lagi beradab dalam seni mengelola perbedaan pendapat. Apakah pendidikan kita sudah mengarah pada hal demikian?
- Rasa curiga berlebihan tanpa dasar, apalagi jika disertai kekerasan, bukanlah cara terhormat untuk sebuah masyarakat yang beradab. Setujukah Anda dengan pandangan John Stuart Mill tersebut?
Atas dasar
pemikiran tersebut, maka jika hanya menekankan pada hak dan mengabaikan
kewajiban maka akan melahirkan persoalan-persoalan. Persoalan-persoalan apa
sajakah yang akan muncul? Akankah hal itu merugikan solidaritas dalam
masyarakat? Akankah hak menempatkan individu di atas masyarakat? Akankah hal
itu kontraproduktif untuk kehidupan sosial? Akankah ia memberi angin pada
individualsme? Padahal, manusia itu merupakan anggota masyarakat dan tidak
boleh tercerabut dari akar sosialnya.
Hanya dalam lingkungan masyarakatlah,
manusia menjadi manusia dalam arti yang sesungguhnya. Dalam sejarah peradaban
umat manusia inovasi hanya muncul ketika manusia berhubungan satu sama lain
dalam arena sosial.
Contoh, Roda pertama kali ditemukan di Mesopotamia, yakni
roda pembuat tembikar di Ur pada 3500 tahun SM. Selanjutnya pemakaian roda
untuk menarik kereta kuda ditemukan di selatan Polandia pada tahun 3350 SM.
Roda pada awalnya hanya terbuat dari kayu cakram yang dilubangi untuk as.
Sampai Celtic memperkenalkan pemakaian pelek besi di sekitar roda. Model Celtic
ini digunakan sampai tahu 1870-an tanpa perubahan yang berarti sampai
ditemukakannya ban angin dan ban kawat. Sampai sekarang roda digunakan secara
luas mulai dari sepeda sampai turbin pesawat.
Muncul
pertanyaan, apakah dengan mengakui hak-hak manusia berarti menolak masyarakat?
Mengakui hak manusia tidak sama dengan menolak masyarakat atau mengganti
masyarakat itu dengan suatu kumpulan individu tanpa hubungan satu sama lain.
Yang ditolak dengan menerima hak-hak manusia adalah totaliterisme, yakni
pandangan bahwa negara mempunyai kuasa absolut terhadap warganya.
Paham ini
sempat dianut oleh negara Fasis Jerman dibawah Hitler dan Italia dibawah
Musolini, di mana negara mempunyai kuasa absolut terhadap seluruh warga
negaranya, serta Jepang pada masa Teno Heika, yang menempatkan Kaisar sebagai
pemilik kuasa absolut terhadap rakyatnya (Alisjahbana, 1978). Dengan demikian
pengakuan hak-hak manusia menjamin agar negara tidak sampai menggilas
individu-individu.
2. Roman
sejarah karya S. Takdir Alisjahbana
Bacalah Roman
Kalah dan Menang: Fajar Menyingsing dibawah Mega Mendung Patahnya Pedang
Samurai, Karya S. Takdir Alisjahbana. Kalah dan Menang
menceritakan peristiwa-peristiwa selama Perang Dunia II, pendudukan Jepang di
Indonesia serta perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan.
Roman ini
mempertentangkan jiwa humanisme dalam bentuk seorang cendekiawan Swiss dengan
Roman jiwa bushido Jepang dalam bentuk seorang samurai. Bagaimana kisah
selanjutnya?
Berdasarkan
uraian di atas, konsep apa yang perlu diusung dalam kehidupan sosial dan
politik Indonesia? Konsep yang perlu diusung adalah menyeimbangkan dalam
menuntut hak dan menunaikan kewajiban yang melekat padanya. Yang menjadi
persoalan adalah rumusan aturan dasar dalam UUD NRI Tahun 1945 yang menjamin
hak-hak dasar warga negara, sebagian besar tidak dibarengi dengan aturan dasar
yang menuntut kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi.
Padahal sejatinya
dalam setiap hak melekat kewajiban, setidak-tidaknya kewajiban menghormati hak
orang lain. Coba Anda periksa naskah UUD NRI Tahun 1945, pasal-pasal mana saja
yang berisi aturan dasar tentang hak dan sekaligus juga berisi aturan dasar
mengenai kewajiban warga negara.
Jika hubungan warga negara dengan negara itu
bersifat timbal balik, carilah aturan atau pasal–pasal dalam UUD NRI 1945 yang
menyebut hak-hak negara dan kewajiban negara terhadap warganya.
Sebagai contoh
hak dan kewajiban warga negara yang bersifat timbal balik atau resiprokalitas
adalah hak warga negara mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27
Ayat 2, UUD 1945). Atas dasar hak ini, negara berkewajiban memberi pekerjaan
dan penghidupan bagi warga negara. Untuk merealisasikan pemenuhan hak warga
negara tersebut, pemerintah tiap tahun membuka lowongan pekerjaan di berbagai
bidang dan memberi subsidi kepada rakyat.
Guna
merealisasikan kewajiban warga negara, negara mengeluarkan berbagai kebijakan
dan peraturan yang mengikat warga negara dan menjadi kewajiban warga negara
untuk memenuhinya. Salah satu contoh kewajiban warga negara terpenting saat ini
adalah kewajiban membayar pajak (Pasal 23A, UUD 1945).
Hal ini dikarenakan saat
ini pajak merupakan sumber penerimaan negara terbesar dalam membiayai
pengeluaran negara dan pembangunan. Tanpa adanya sumber pendapatan pajak yang
besar maka pembiayaan pengeluaran negara akan terhambat. Pajak menyumbang
sekitar 74,63 % pendapatan negara. Jadi membayar pajak adalah contoh kewajiban
warga negara yang nyata di era pembangunan seperti sekarang ini.
Dengan masuknya
pendapatan pajak dari warga negara maka pemerintah negara juga akan mampu
memenuhi hak warga negara yakni hak mendapatkan penghidupan yang layak.
Terimakasih Sudah Meluangkan Waktu Berkunjung Di Blog Ini 😁
EmoticonEmoticon