Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik tentang Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa - Negara Indonesia

Tags

Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik tentang Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa-Negara Indonesia - kita pasti sering mempunyai sejumlah pertanyaan yang sangat penting yakni perlukan setiap negara memiliki konstitusi? Jika ya, untuk apa konstitusi diperlukan? Apakah ada negara yang tidak memiliki konstitusi? Jika ada, apa yang akan terjadi dengan kehidupan negara tersebut?

Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik tentang Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa-Negara Indonesia

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kita perlu memulainya dari penelusuran historis dengan memahami pandangan Thomas Hobbes (1588-1879). Dari pandangan ini, kita akan dapat memahami, mengapa manusia dalam bernegara membutuhkan konstitusi.

Menurut Hobbes, manusia pada “status naturalis” bagaikan serigala. Hingga timbul adagium homo homini lupus (man is a wolf to [his fellow] man), artinya yang kuat mengalahkan yang lemah. Lalu timbul pandangan bellum omnium contra omnes (perang semua lawan semua). Hidup dalam suasana demikian pada akhirnya menyadarkan manusia untuk membuat perjanjian antara sesama manusia, yang dikenal dengan istilah factum unionis. 

Selanjutnya timbul perjanjian rakyat menyerahkan kekuasaannya kepada penguasa untuk menjaga perjanjian rakyat yang dikenal dengan istilah factum subjectionis.

Dalam bukunya yang berjudul Leviathan (1651) ia mengajukan suatu argumentasi tentang kewajiban politik yang disebut kontrak sosial yang mengimplikasikan pengalihan kedaulatan kepada primus inter pares yang kemudian berkuasa secara mutlak (absolut). Primus inter pares adalah yang utama di antara sekawanan (kumpulan) atau orang terpenting dan menonjol di antara orang yang derajatnya sama. Negara dalam pandangan Hobbes cenderung seperti monster Leviathan.

Pemikiran Hobbes tak lepas dari pengaruh kondisi zamannya (zeitgeist- nya) sehingga ia cenderung membela monarkhi absolut (kerajaan mutlak) dengan konsep divine right yang menyatakan bahwa penguasa di bumi merupakan pilihan Tuhan sehingga ia memiliki otoritas tidak tertandingi.

Pandangan inilah yang mendorong munculnya raja-raja tiran. Dengan mengatasnamakan primus inter pares dan wakil Tuhan di bumi mereka berkuasa sewenang-wenang dan menindas rakyat.

Salah satu contoh raja yang berkuasa secara mutlak adalah Louis XIV, raja Perancis yang dinobatkan pada 14 Mei 1643 dalam usia lima tahun. Ia baru mulai berkuasa penuh sejak wafatnya menteri utamanya, Jules Cardinal Mazarin pada tahun 1661. Louis XIV dijuluki sebagai Raja Matahari (Le Roi Soleil) atau Louis yang Agung (Louis le Grand, atau Le Grand Monarque). Ia memerintah Perancis selama 72 tahun, masa kekuasaan terlama monarki di Perancis dan bahkan di Eropa.

Louis XIV meningkatkan kekuasaan Perancis di Eropa melalui tiga peperangan besar: Perang Perancis-Belanda, Perang Aliansi Besar, dan Perang Suksesi Spanyol antara 1701-1714. Louis XIV berhasil menerapkan absolutisme dan negara terpusat. Ungkapan "L'État, c'est moi" ("Negara adalah saya") sering dianggap berasal dari dirinya, walaupun ahli sejarah berpendapat hal ini tak tepat dan kemungkinan besar ditiupkan oleh lawan politiknya sebagai perwujudan stereotipe absolutisme yang dia anut. 

Seorang penulis Perancis, Louis de Rouvroy, bahkan mengaku bahwa ia mendengar Louis XIV berkata sebelum ajalnya: "Je m'en vais, mais l'État demeurera toujours" ("saya akan pergi, tapi negara akan tetap ada"). 

Akibat pemerintahannya yang absolut, Louis XIV berkuasa dengan sewenangwenang, hal itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan yang luar biasa pada rakyat. Sepeninggal dirinya, kekuasaannya yang mutlak dilanjutkan oleh raja-raja berikutnya hingga Louis XVI. Kekuasaan Louis XVI akhirnya dihentikan dan dia ditangkap pada Revolusi 10 Agustus, dan akhirnya dihukum dengan Guillotine untuk dakwaan pengkhianatan pada 21 Januari 1793, di hadapan para penonton yang menyoraki hukumannya.

Gagasan untuk membatasi kekuasaan raja atau dikenal dengan istilah konstitusionalisme yang mengandung arti bahwa penguasa perlu dibatasi kekuasaannya dan karena itu kekuasaannya harus diperinci secara tegas, sebenarnya sudah muncul sebelum Louis XVI dihukum dengan Guillotine.

Bisakah Anda menjelaskan tentang peristiwa mana yang mengawali tonggak sejarah tersebut? Coba arahkan ingatan Anda pada sejarah perjuangan dalam menegakkan hak asasi manusia (HAM). 

Dalam rentetan sejarah penegakkan HAM Anda akan menemukan beberapa peristiwa yang melahirkan berbagai dokumen HAM. Apakah Anda masih ingat dengan Magna Charta di Inggris, Bill of Rights dan Declaration of Independence dalam sejarah Amerika Serikat, dan Declaration des Droits de L’homme et du Citoyen di Perancis?

Kembali pada pertanyaan mengapa diperlukan konstitusi dalam kehidupan berbangsa-negara, tentu Anda sudah mendapatkan jawabannya. Jawaban terpenting atas pertanyaan tersebut adalah agar dapat membatasi kekuasaan pemerintah atau penguasa negara. Sejarah tentang perjuangan dan penegakan hak-hak dasar manusia sebagaimana terumus dalam dokumen-dokumen di atas, berujung pada penyusunan konstitusi negara. Konstitusi negara di satu sisi dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan penyelenggaran negara dan di sisi lain untuk menjamin hakhak dasar warga negara.

Seorang ahli konstitusi berkebangsaan Jepang Naoki Kobayashi mengemukakan bahwa undang-undang dasar membatasi dan mengendalikan kekuasaan politik untuk menjamin hak-hak rakyat. Melalui fungsi ini undang-undang dasar dapat memberi sumbangan kepada perkembangan dan pembinaan tatanan politik yang demokratis (Riyanto, 2009). 

Coba Anda cermati aturan dasar yang terdapat dalam UUD NRI 1945 yang melakukan pembatasan kekuasaan pemerintah atau penguasa negara, pasal-pasal mana sajakah itu?  

Contoh dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara memuat aturan-aturan dasar sebagai berikut:
  1. Pedoman bagi Presiden dalam memegang kekuasaan pemerintahan (Pasal 4, Ayat 1).
  2. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon Presiden dan calon Wakil Presiden (Pasal 6 Ayat 1).
  3. Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 7).
  4. Pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya (Pasal 7A dan 7B).
  5. Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR (Pasal 7C).
  6. Pernyataan perang, membuat pedamaian, dan perjanjian dengan negara lain (Pasal 11 Ayat 1, Ayat 2, dan Ayat 3).
  7. Menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12)
  8. Mengangkat dan menerima duta negara lain (Pasal 13 Ayat 1, Ayat 2, dan Ayat3).
  9. Pemberian grasi dan rehabilitasi (Pasal 14 Ayat 1).
  10. Pemberian amnesti dan abolisi (Pasal 14 Ayat 2).
  11. Pemberian gelar, tanda jasa, dan lain-lan tanda kehormatan (Pasal 15).
  12. Pembentukan dewan pertimbangan (Pasal 16).
Semua pasal tersebut berisi aturan dasar yang mengatur kekuasaan Presiden, baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan. Sebagai kepala negara, Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah seharihari.

Aturan-aturan dasar dalam UUD NRI 1945 tersebut merupakan bukti adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan di Indonesia. Tidak dapat kita bayangkan bagaimana jadinya jika kekuasaan pemerintah tidak dibatasi. Tentu saja penguasa akan memerintah dengan sewenangwenang.

Mengapa demikian? Ingat tentang hukum besi kekuasaan bahwa setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. 

Inilah alasan mengapa diperlukan konstitusi dalam kehidupan berbangsa-negara Indonesia, yakni untuk membatasi kekuasaan pemerintah agar tidak memerintah dengan sewenang-wenang. Konstitusi juga diperlukan untuk membagi kekuasaan dalam negara. Pandangan ini didasarkan pada fungsi konstitusi yang salah satu di antaranya adalah membagi kekuasaan dalam negara (Kusnardi dan Ibrahim, 1988). 

Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggap sebagai organisasi kekuasaan maka konstitusi dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi di antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Konstitusi menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasan itu bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain serta merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam negara.

Banyak pendapat yang dikemukakan para ahli tentang apa saja yang menjadi materi muatan konstitusi itu. Coba Anda cermati sejumlah pendapat berikut ini.

Materi Muatan Konstitusi

J. G. Steenbeek mengemukakan bahwa sebuah konstitusi sekurang-kurangnya bermuatan hal-hal sebagai berikut (Soemantri, 1987): 
  • Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara;
  • Ditetapkannya susunan ketatanegaraan yg bersifat fundamental; dan
  • Adanya pembagian dan pembatasan tugas kenegaraan yg juga bersifat fundamental.
K.C. Wheare menegaskan bahwa dalam sebuah negara kesatuan yang perlu diatur dalam konstitusi pada asasnya hanya tiga masalah pokok berikut (Soemantri, 1987):
  • Struktur umum negara, seperti pengaturan kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudisial.
  • Hubungan – dalam garis besar – antara kekuasaan-kekuasaan tersebut satu sama lain.
  • Hubungan antara kekuasaan-kekuasaan tersebut dengan rakyat atau warga Negara.
A.A.H. Struycken menyatakan bahwa konstitusi dalam sebuah dokumen formal berisikan hal-ahal sebagai berikut (Soemantri, 1987):
  • Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yg lampau
  • Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa
  • Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang
  • Suatu keinginan dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Phillips Hood & Jackson menegaskan bahwa materi muatan konstitusi adalah sebagai berikut (Asshiddiqie, 2002): “Suatu bentuk aturan, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang menentukan susunan dan kekuasaan organ-organ negara yg mengatur hubungan-hubungan di antara berbagai organ negara itu satu sama lain, serta hubungan organ-organ negara itu dengan warga negara.”

Miriam Budiardjo (2003) mengemukakan bahwa setiap UUD memuat ketentuan-ketentuan tentang:
  • Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif.  (b) Hak-hak asasi manusia.
  • Prosedur mengubah UUD.
  • Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD.
Hal-hal yang dimuat dalam konstitusi atau UUD
  • Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif: Pada negara federal, pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara-negara bagian, dan tentang prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintahan.
  • Hak-hak asasi manusia. Dalam UUD NRI Tahun 1945, misalnya diatur secara khusus dalam BAB XA, Pasal 28A sampai Pasal 28 J.
  • Prosedur mengubah UUD. Dalam UUD NRI Tahun 1945, misalnya diatur secara khusus dalam BAB XVI, Pasal 37 tentang Perubahan Undang-Undang Dasar.
  • Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD. Hal ini biasanya terdapat jika para penyusun UUD ingin menghindari terulangnya kembali hal-hal yang baru saja diatasi, seperti misalnya munculnya seorang diktator atau kembalinya suatu monarki. UUD Federal Jerman melarang untuk mengubah sifat federalisme dari UUD oleh karena dikuatirkan bahwa sifat unitarisme dapat melicinkan jalan untuk munculnya kembali seorang diktator seperti Hitler. Dalam UUD NRI 1945, misalnya diatur mengenai ketetapan bangsa Indonesia untuk tidak akan mengubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 37, Ayat 5).
  • Memuat cita-cita rakyat dan asas-asas ideologi negara. Ungkapan ini mencerminkan semangat (spirit) yang oleh penyusun UUD ingin diabadikan dalam UUD sehingga mewarnai seluruh naskah UUD itu. Misalnya, UUD Amerika Serikat menonjolkan keinginan untuk memperkokoh penggabungan 13 koloni dalam suatu Uni, menegaskan dalam Permulaan UUD:“Kami, rakyat Amerika Serikat, dalam keinginan untuk membentuk suatu Uni yang lebih sempurna... menerima UUD ini untuk Amerika Serikat”.
Begitu pula UUD India menegaskan:

“Kami, rakyat India memutuskan secara khidmat untuk membentuk India sebagai suatu republik yang berdaulat dan demokratis dan untuk menjamin kepada semua warga negara: Keadilan sosial, ekonomi, dan politik; Kebebasan berpikir, mengungkapkan diri, beragama dan beribadah; Kesamaan dalam status dan kesempatan; dan untuk memperkembangkan mereka persaudaraan yang menjunjung tinggi martabat seseorang dan persatuan negara”.

Dalam kaitan dengan ini Pembukaan UUD NRI 1945 menyatakan:

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.

Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. Tidak semua negara memiliki konstitusi tertulis atau Undang-Undang Dasar. Kerajaan Inggris misalnya, sebagai negara konstitusional tetapi tidak memiliki suatu naskah Undang-Undang Dasar. 

Atas dasar kenyataan demikian, maka konstitusi lebih tepat diartikan sebagai seperangkat peraturan tertulis dan tidak tertulis yang bertujuan membangun kewajiban-kewajiban, kekuasaan-kekuasaan, dan fungsi-fungsi dari pelbagai institusi pemerintah, meregulasi hubungan antara mereka, dan mendefinisikan hubungan antara negara dan warga negara (individu).

Berdasarkan uraian di atas, maka kita mempunyai dua macam pengertian tentang konstitusi itu, yaitu konstitusi dalam arti sempit dan konstitusi dalam arti luas.
  • Dalam arti sempit, konstitusi merupakan suatu dokumen atau seperangkat dokumen yang berisi aturan-aturan dasar untuk menyelenggarakan negara.
  • Dalam arti luas, konstitusi merupakan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang menentukan bagaimana lembaga negara dibentuk dan dijalankan.
Jika kita mengartikan konstitusi secara sempit, yakni sebagai suatu dokumen atau seperangkat dokumen, maka Kerajaan Inggris tidak memiliki konstitusi yang termuat dalam satu dokumen tunggal. Inggris tidak memiliki dokumen single core konstitusional. 

Konstitusi Inggris adalah himpunan hukum dan prinsip-prinsip Inggris yang diwujudkan dalam bentuk tertulis, dalam undang-undang, keputusan pengadilan, dan perjanjian. Konstitusi Inggris juga memiliki sumber tidak tertulis lainnya, termasuk parlemen, konvensi konstitusional, dan hak-hak istimewa kerajaan.

Oleh karena itu, kita harus mengambil pengertian konstitusi secara luas sebagai suatu peraturan, tertulis maupun tidak tertulis, yang menentukan bagaimana negara dibentuk dan dijalankan. Jika demikian Kerajaan Inggris memiliki konstitusi. Negara tersebut bukan satu-satunya yang tidak memiliki konstitusi tertulis. Negara lainnya di antaranya adalah Israel dan Selandia Baru.

Artikel Terkait

Terimakasih Sudah Meluangkan Waktu Berkunjung Di Blog Ini 😁


EmoticonEmoticon