Berikut ini kami sajikan contoh makalah yang berjudul tentang Isu Senjata Pemusnah Massal (Invasi Amerika Serikat Terhadap Irak). Untuk lebih jelasnya mari kita simak berikut ini:
ISU SENJATA PEMUSNAH MASSAL (INVASI AMERIKA SERIKAT TERHADAP IRAK)
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam mata kuliah Sejarah Kontemporer yang diampu oleh Kuswono, S.Pd.,M.Pd/Kian Amboro, S.Pd.,M.Pd.
ERIYEN HERTIANA :13220023
HENDRI SETIAWAN :13220005
BAGAS PRAKOSO WIBOWO :13220002
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Hanya dia yang dapat memberikan kekuatan bagi hambanya untuk menyelesaikan segala hal. Tiada kekuatan yang lebih dari kekuatan-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah Sejarah Kontemporer yang berjudul ”Isu Senjata Pemusnah Massal“ tepat pada waktunya.
Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam terang benderang seperti yang kita rasakan saat ini dan semoga kita selalu mendapat syafaat dari beliau kelak di hari akhir.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kuswono, S.Pd.,M.Pd/Kian Amboro, S.Pd.,M.Pd. selaku dosen mata kuliah Sejarah Antropologi Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada penyusun sehingga tugas ini dapat terselesaikan sesuai dengan harapan.
Penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan tentang bahasa makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini sangat kami harapkan atas kritik dan sarannya kami ucapkan terima kasih. Namun demikianlah makalah ini agar dapat bermanfaat bagi kita semua.
Metro, ........................
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN MAKALAH
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Makalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Invasi AS Terhadap Irak
B. Keadaan Irak pada Masa Saddam Husein
C. Keadaan Irak Setelah Jatuhnya Saddam Husein
D. Dampak Penyerangan AS terhadap Irak
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
Republik Irak adalah sebuah negara di Timur Tengah atau Asia Barat Daya, yang meliputi sebagian terbesar daerah Mesopotamia serta ujung barat laut dari Pegunungan Zagros dan bagian timur dari Gurun Suriah yang mempunyai luas sekitar 438.052 km2.
Negara ini berbatasan dengan Kuwait dan Arab Saudi di selatan, Yordania dan Suriah di barat, Turki di utara, dan Iran di timur. Irak mempunyai bagian yang sangat sempit dari garis pantai di Umm Qasr di Teluk Persia.
Irak merupakan suatu fenomena yang menarik untuk dikaji lebih mendalam, karena merupakan salah satu negara Timur Tengah yang sering menghadapi peperangan. Sejak pertama muncul peradaban kuno di Asia Barat daya, Irak selalu dikuasi oleh kekuasaan asing.
Irak sebagai negara yang menjadi pusat peradaban dunia Islam pada dinasti Abbasiyah setidaknya pernah diinvasi oleh pasukan Persia, Yunani, Romawi dan Mongol. Pada awal perjalanan Irak pada abad ke-21 ini, Irak kembali diserbu oleh Amerika Serikat (AS). Berikut akan diuraikan mengenai peristiwa Serangan Amerika Serikat ke Irak yang berlangsung pada tahun 2003.
A. LATAR BELAKANG INVASI AS TERHADAP IRAK
Konflik senjata antara AS (Amerika Serikat) dengan Irak pada tahun 2003, ada tiga tujuan yaitu AS ingin menghancurkan senjata pemusnah massal, menyingkirkan ancaman teroris internasional dan membebaskan rakyat Irak dari penindasan rezim Saddam Hussein dengan cara memulihkan demokrasi di Irak.
Dari tiga alasan tentang masalah Irak yang harus diselesaikan dengan cara AS (dihancurkan) ternyata dipenuhi kebohongan, yaitu : Agresi AS ke Irak untuk memusnahkan senjata pemusnah massal adalah upaya AS untuk membohongi masyarakat internasional. Dikatakan oleh Presiden George W. Bush bahwa Irak mempunyai senjata pemusnah atau destruksi massal (Weapons of Mass Destruction) yang berupa:
- Senjata kimia seperti mostar yang dapat menyebabkan kulit melepuh, tabun dan sarin yang dapat menyerang syaraf.
- Senjata biologi seperti botulinum yang dapat meracuni dan mencekik orang, bacillus antraxis yang dapat menyebabkan penyakit antrax, senjata nuklir dan rudal scud yang mempunyai jangkauan 900 kilometer untuk meluncurkan senjata-senjata tersebut.
Dengan demikian kepemilikan senjata-senjata tersebut dapat membahayakan rakyat Irak dan negara-negara tetangganya. Serangan AS ke Irak dengan alasan pemusnahan senjata pemusnah massal tidak masuk akal, karena bila AS memang ingin menghancurkan senjata itu,
Presiden Bush tidak mengerahkan semua kekuatan militernya. AS (dan sekutunya Inggris) hanya mengerahkan 230.000 dan 45.000 personilnya ke Irak. Dari jumlah itu, hanya 90.000 prajurit AS dan 45.000 prajurit Inggris yang merupakan pasukan tempur.
Sebelum terjadi serangan ke Irak, Tim Inspeksi PBB yang diketuai Hans Blix menyatakan sama sekali tidak menemukan bukti Irak memiliki senjata pemusnah masal dan ternyata jangkauan senjata rudal Irak tidak seperti yang dikatakan AS yaitu 900 kilometer, tetapi hanya 10 sampai 15 kilometer. Atas dasar temuan itu Saddam Hussein menyatakan,
“Mampukah rudal ini menembus Israel? Mampukah mencapai AS?”.
Kebohongan AS makin tampak ketika Menteri Luar Negeri AS, Collin Powell, memberikan laporan kepada Dewan Keamanan PBB tentang upaya Irak mendapatkan uranium-oksida dari Nigeria.
Menurut duta besar Nigeria untuk PBB, Presiden Nigeria yang disebut-sebut dalam dokumen intelijen Presiden Bush, yang dikatakan bekerjasama dengan Saddam Hussein dalam pengadaan uranium-oksida ternyata telah lama meninggal dunia. Beberapa minggu setelah Baghdad jatuh, pasukan AS belum berhasil menemukan senjata pemusnah massal Irak.
Menggempur Irak atas nama memerangi terorisme yang didengungkan AS tidak dapat diterima begitu saja. Tudingan Washington bahwa Bahgdad memiliki hubungan dengan al-Qaidah, organisasi yang sangat dibenci dan sekaligus ditakuti AS (yang dituduh telah meledakkan gedung WTC pada 11 September 2001) sangat tidak masuk akal. Di satu sisi, al-Qaidah adalah organisasi yang ingin menggulingkan pemerintahan berpaham liberal maupun sekuler, sementara Partai Baath pimpinan Saddam Hussein tidak memiliki paham fundamentalisme seperti halnya al-Qaidah.
Bahkan, rezim Saddam Hussein sendiri termasuk yang harus dihancurkan oleh Al-Qaidah karena berseberangan paham (pemerintahan Saddam Hussein berpaham sekuler, sedangkan al-Qaidah berpaham fundamentalis yang memegang teguh ajaran Islam). Oleh karena itu, selain pemerintah AS tidak punya bukti kuat tentang hubungan al-Qaidah dan Irak, Usamah bin Laden (pemimpin Al-Qaidah) dan Saddam Hussein tidak mungkin bekerjasama. Apalagi, ketika Irak menduduki Kuwait pada 2 Agustus 1990, Usamah bin Laden justru menawarkan diri kepada Raja Fahad (Arab Saudi) untuk mengirimkan veteran Arab-Afghan untuk membantu Kuwait mengusir pasukan Saddam.
Klaim Washington bahwa penggulingan Saddam Hussein dimaksudkan untuk menyelamatkan rakyat Irak dari pemerintah yang diktaktor dan otoriter serta agar rakyat dapat mendirikan pemerintahan yang benar-benar demokratis juga cacat dari sisi hukum. Baik PBB maupun negara di dunia tidak ada yang memberi legitimasi AS untuk ikut campur urusan dalam negara lain. Dalam kasus Irak, apapun sistem yang telah dan akan diterapkan di negara itu, demokrasi atau monarki, maka hasil itu semuanya menjadi hak rakyat Irak untuk menentukannya.
Di Irak, meskipun AS mengatakan Saddam Hussein sebagai diktator, tetapi rakyat Irak (kecuali suku Kurdi) mengelu-elukan Saddam Hussein sebagai sosok yang berani mempertahankan kedaulatan Irak dari serbuan AS dan sekutunya.
Saat menghadapi invasi AS, Saddam Hussein telah menyerukan kepada rakyatnya agar tetap siaga menghadapi agresi militer AS. Seruan itu disambut rakyat yang menyatakan akan membela pemimpinnya, yaitu Saddam Hussein dan membela tanah Irak.
Dalam pengakuannya, AS selalu mengatakan bahwa serangannya ke Irak untuk menegakkan demokrasi, tetapi setelah rezim Saddam Hussein jatuh, AS akan kesulitan membangun pemerintahan baru yang demokratis. Hal ini disebabkan:
- Prinsip AS sendiri tidak demokratis, melainkan berdasarkan pada kepentingan politiknya, yaitu mencegah munculnya penguasa yang menentang kekuasaan, atau berafiliasi dengan negara yang menjadi musuh AS;
- Pemimpin yang dipilih AS untuk memimpin Irak tidak mempunyai basis pendukung yang kuat di kalangan rakyat.
Dari kedua alasan utama tersebut, Pemerintah AS menjabarkannya dalam beberapa misi mereka untuk Irak. Bahkan pemerintah AS menganggap sebagai tugas mulia. Beberapa misi invasi yang dianggap sebagai tugas mulia AS, antara lain sebagai berikut :
- Mengakhiri rezim Saddam Hussein;
- Mengidentifikasi, mengisolasi, dan mengeliminasi senjata pemusnah massal;
- Mencari, menangkap, dan membawa keluar teroris dari Negara itu;
- Mengumpulkan data intelijen terkait yang bisa digunakan dalam jaringan pemberantasan terorisme internasional;
- Mengumpulkan data intelijen yang terkait dengan jaringan global di pasar gelap perdagangan senjata pemusnah massal;
- Mengakhiri sanksi dan secepat mungkin mengirim bantuan kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan rakyat Irak;
- Mengamankan sumber-sumber ladang minyak yang menjadi milik rakyat Irak;
- AS akan menjadi penolong rakyat Irak menciptakan masa transisi untuk membangun sebuah pemerintahan yang representatif.
- Kekayaan minyak bumi yang dimiliki oleh Irak merupakan cadangan minyak kedua terbesar setelah Arab Saudi. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Centre for Global Energy Studies (CGES) London, Irak diperkirakan memiliki 112 miliar barrel cadangan minyak. Berdasarkan data tersebut, Irak merupakan pemilik 11 persen cadangan minyak dunia. Selain itu, menurut US Energy Information Administration, Irak memiliki 73 ladang minyak mentah dan hanya 15 ladang yang telah dikembangkan;
- ingin menciptakan tatanan dunia baru yang “lebih aman” dengan tujuan kebebasan ekonomi dan politik. Hal ini merupakan strategi geopolitik AS di kawasan Timur Tengah. Bagi AS, Irak merupakan ancaman potensial bagi kepentingannya dan sekutu terdekatnya Israel di kawasan Timur Tengah;
- Proyek rekontruksi pasca perang yang akan menguntungkan AS. Kehancuran infrastruktur akibat perang akan melahirkan proyek-proyek rekontruksi dengan dana yang besar. Sebagai pemeran utama invasi, AS akan mengambil proyek-proyek tersebut untuk meraup keuntungan besar pasca perang.
a) Menguasai Industri Minyak Dunia dan Menghancurkan OPEC
Agresi militer AS ke Irak sangat erat kaitannya dengan kepentingan minyak bagi AS. Irak merupakan negara yang mempunyai cadangan minyak sebesar 112 miliar barel atau 11% dari total cadangan minyak dunia. Para perancang kebijakan pemerintahan AS berpendapat bahwa menguasai minyak Irak sangat penting guna mengantisipasi menurunnya keberadaan minyak dunia sebanyak lima juta barel per hari pada dekade mendatang.
Lebih daripada itu, Badan Energi Internasional memperkirakan bahwa kebutuhan dunia terhadap minyak akan meningkat sebesar 1,6% pada tahun 2030. Dengan kata lain, kebutuhan minyak dunia yang sekarang berjumlah antara 75-76 juta barel perhari akan meningkat menjadi 120 juta barel perhari pada tahun itu.
Dengan menguasai minyak Irak, AS dapat dengan mudah mempermainkan harga minyak dunia, karena selama ini penentuan harga minyak masih dikuasai OPEC, bukan oleh satu negara tertentu. Jatuhnya Irak dan semakin kuatnya pengaruh AS di kawasan Teluk tidak saja akan mengamankan suplai minyak bagi AS dan sekutunya, tetapi juga mengantarkan AS sebagai negara yang dapat mengontrol kepentingan ekonomi (minyak) negara lain.
b) Menjaga Eksistensi dan Keamanan Negara Israel
AS merupakan benteng utama penjaga keselamatan negara Israel dari ancaman yang sering dihembuskan oleh Irak, karena itu AS berkepentingan untuk menghancurkan Irak dan pemerintahan Saddam Hussein. Dengan menghancurkan Irak dan menguasainya, maka Israel akan terbebas dari ancaman Irak. Dengan adanya perang AS-Irak, maka Irael akan menggunakan kesempatan itu untuk melakukan penindasan terhadap rakyat Palestina.
M. J. Akbar, seorang kolumnis kaliber internasional asal India, dalam Abdul Halim Mahally (2003:353), menyatakan bahwa AS sesungguhnya tengah berupaya keras untuk mewujudkan Timur Tengah Baru. Setelah Irak berhasil dikuasai, maka AS hendak membentuk negara Palestina yang demokratis yang dapat bekerja sama dengan Israel, karena selama ini Irak merupakan pendukung gerakan perlawanan Palestina.
Selain itu, AS juga ingin mewujudkan ambisi Israel yang ingin menguasai Timur Tengah. Bagi AS, mendukung Israel merupakan kepentingannya, karena itu AS secara terang-terangan menerapkan kebijakan standar-ganda di Timur Tengah. Di satu sisi, AS menjatuhkan sanksi-sanksi khusus kepada Irak, sementara di sisi lain mendukung Israel menindas Palestina.
c) Meneguhkan Pengaruh Politik
Dengan menghancurkan Irak, AS semakin terbuka peluangnya untuk menapakkan pengaruh politiknya di Timur Tengah. Selama ini, pengaruh politik AS di Timur Tengah belum dapat terwujud secara maksimal, dikarenakan pemerintahan Saddam Hussein tidak mau tunduk pada AS. Saddam Hussein secara terang-terangan mempunyai keberanian untuk menentang hegemoni AS dan menggalang dukungan dari negara-negara Teluk untuk menentang AS.
Keruntuhan pemerintahan Saddam Hussein juga dimaksudkan AS untuk mengirimkan sinyal tegas dan peringatan kepada negara-negara di Timur Tengah, bahwa AS tidak akan segan-segan mengirimkan mesin-mesin perangnya kepada negara-negara yang melawannya.
B. KEADAAN IRAK PADA MASA SADDAM HUSEIN
Saddam Husain at-Tikriti baru muncul sebagai orang kuat di belakang layar pada paruh kedua tahun 70-an. Ia berdiri di belakang Presiden Bakr. Selama beberapa tahun ia mempertahankan posisi yang tidak menonjol sebagai wakil ketua komando Regional Partai Baath dan juga menjadi Wakil Ketua Dewan Komando Revolusioner. Pada tanggal 17 Juli 1979, yaitu pada peringatan ulang tahun kesebelas pemerintahan Baath di Irak, Saddam menggantikan Bakr sebagai Presiden Republik yang mengundurkan diri karena alasan-alasan kesehatan.
Di bawah kepemimpinan Saddam Hussein terdapat tanda-tanda bahwa Irak mengalami suatu situasi politik yang stabil. Meskipun kestabilan ini dicapai dengan kerja keras dari pihak keamanan, namun kebijakan ekonomi dan social pemerintah sangat memegang peranan dalam kestabilan ini. Akan tetapi pada tahun 1980 meletus peperangan antara Iran dan Irak.
Terlepas daripada asal-usulnya, peperangan ini merupakan sebuah tantangan yang berat bagi pemerintah yang berkuasa di Irak. Namun perkembangan selanjutnya, terutama semenjak diadakan gencatan senjata tahun 1988, telah memperbaiki citra pemerintah, dan memperbesar dukungan rakyat kepadanya.
Bulan November 1988, beberapa bulan setelah gencatan senjata itu, Presiden Saddam Hussein telah mengeluarkan suatu Program Reformasi Politik yang mengizinkan berdirinya Partai-Partai politik yang beroposisi kepada Partai Baath.
Alasan yang dikemukakan bagi tindakan ini adalah karena semua bangsa Irak, terdiri dari bermacam-macam latar belakang etnis, Ideologi, agama, semua telah bekerjasama dalam upaya perang yang lalu, dan karena itu berhak untuk memainkan suatu peranan yang terlembaga dalam proses pengambilan keputusan.
Majelis Nasional yang dipilih pada bulan April 1989 diberi tugas untuk mengeluarkan undang-undang yang diperlukan untuk membenarkan adanya Partai-Partai politik itu. Namun demikian, tidak dapat diharapkan timbulnya di Irak sebuah sistem Liberal seperti yang terdapat di barat. Presiden Irak sendiri telah menyatakan bahwa masyarakat Irak berbeda dari masyarakat Barat, karena itu apabila terdapat praktek-praktek yang berbeda, maka ini adalah suatu hal yang sudah dapat diharapkan.
Akan tetapi, kediktatoran rezim Saddam Husaeinlah yang menyebabkan Amerika Serikat melakukan invasi ke Irak, meskipun ada factor-faktor lain yang mendukung invasi tersebut. Oleh karena itu Amerika Serikat melakukan invasi ke Irak dengan mengusung HAM dan demokrasi. Amerika Serikat menegaskan bahwa tiadanya demokrasi berandil besar terhadap tumbuh dan berkembangnya radikalisme dan aksi kekerasan di dunia Arab.
Maka Amerika Serikatpun mulai menyadari bahwa meredam kekerasan dan aksi terorisme harus dibarengi dengan penguatan dan penyebaran demokrasi di Timur Tengah. Pemerintahan di Irak yaitu Saddam Husain yang otoriter dan totaliter dinilai sangat potensial mendukung kelompok-kelompok pemberontak bahkan kelompok teroris untuk melawan negara-negara maju yang dianggap menindas seperti Amerika Serikat.
Hal inilah yang membuat Amerika Serikat bersikeras untuk menyerang Irak yang mentransformasikan rezim otoriter yang tidak kooperatif dengan rezim demkrasi seperti yang ada di Amerka Serikat.
Amerika Serikat membayangkan bahwa dengan menggulingkan Saddam Hussein dan menggantikan pemerintahan yang dictator menjadi demokrasi, rakyat Irak akan serta merta menyambutnya sebagai kemengan demokrasi, sebagaimana diketahui bahwa menurut Amerika Serikat, rakyat Irak tidak pernah merasakan demokrasi, terutama setelah Irak dikuasai oleh pemimpin yang dictator dan otoriter seperti Saddam Husein.
Sejak resmi menjadi nomor satu di Irak (Juli 1979), Saddam Husein oleh pers barat dijuluki sebagai dictator paling bengis di Timur Tengah, kemudian menjadi manusia paling berbahaya di dunia atau Hittler zaman ini.
Alasan Saddam Husein terkait dengan Osama bin Laden tidak bisa dijadikan alasan yang cukup kuat untuk menyerang Irak. Oleh karenanya Amerika melakukan invasi dengan dalih mencari dan menghancurkan senjata kimia pemusnah massa yang dicurigai dimiliki oleh Irak.
Pada akhir tahun 2002 Dewan PBB, yaitu UNMOVIC menyatakan bahwa di Irak tidak ditemukan senjata pemusnah massa seperti yang dituduhkan pemerintahan Amerika terhadap Irak dan dugaan UNMOVUIC tahun 2000 adalah kekeliruan. Namun Amerika bersikukuh melakukan invasi ke Irak walaupun dengan alasan yang mengada-ada.
Dengan kata lain, Amerika Serikat menginginkan Irak menjadi negara yang demokrasi untuk mengembalikan kekuasaan negara-negara yang dinilai non-demokrasi (otoliter/totaliter). Dengan mengusung politik standar ganda yakni membisu terhadap praktik pelanggaran demokrasi di negara-negara Arab moderat, namun dalam waktu yang sama senantiasa mempermasalahkan isu tersebut di negara-negara arab yang berada di luar siklus politik Amerika Serikat.
Amerika Serikat semakin memperlihatkan keinginannya yaitu penyebaran demokrasi.ke negara-negara dunia seperti yang dilakukan intervensi Amerika Serikat ke berbagai negara seperti Irak pasca rezim Saddam Husein.
Ideology demokrasi dianggap sebagai ideology terbaik yang pernah dimilki oleh Amerika Serikat sehingga menyebabkan Amerika Serikat ingin menyebarkan ideology tersebut. Meskipun muncul indikasi adanya kepentingan ekonomi dan politik, akan tetapi hal itu hanya semata dianggap sebagai modus belaka mengingat bahwa dengan penerapan demokrasi juga dapat dijadikan sebagai instrument politik untuk mencapai tujuan kepentingan negara semata.
C. KEADAAN IRAK SETELAH JATUHNYA SADDAM HUSEIN
Tumbangnya patung Saddam Hussein setinggi 15 meter yang terbuat dari perunggu secara simbolis melambangkan runtuhnya rezim Saddam Hussein. Perang telah dinyatakan selesai oleh Bush dan selanjutnya irak jatuh ke tangan pasukan pendudukan pimpinan Amerika Serikat. Setelah tumbangnya Saddam Hussein, Irak memasuki babak baru yang sangat berbeda dari sebelumnya.
Dari perang yang berlangsung selama 43 hari ini dapat dikatakan bahwa irak mengalami kekalahan. Amerika Serikat telah berhasil menjatuhkan rezim Saddam Hussein dan membentuk pemerintahan baru di Irak yang dijanjikan demokratis. (Sumargono, 2010: 96).
Melihat perkembangan Irak pasca Saddam Hussein, dapat disimpulkan bahwa tantangan yang dihadapi AS dan sekutunya pasca perang sangat berat. Kenyataan di lapangan memperlihtkan bahwa pasukan pendudukan tidak dapat sepenuhnya menciptakan stabilitas, keamanan. Kelompok-kelompok oposisi yang sebelumnya telah menjalin hubungan erat dengan AS, tidak menginginkan para pejabat AS memainkan peran yang lebih besar dalam mengelola pemerintahan pasca perang. Kelompok ini kemudian menyatakan bahwa orang-orang Irak kompeten dan mampu untuk mebangnun Irak kembali.
Harapan rakyat Irak untuk membangun kembali Irak tanpa bantuan asng tidak terwujud, karena AS telah mempunyai skenario dan rencana sendiri dalam Irak. Setelah runtuhnya Saddam Hussein yang disusul dengan pembentukan Dewan Pemerintah Sementara ternyata muncul perlawanan-perlawanan bersenjata. Berbagai kelompok bersenjata bermunculan bahkan sampai pada hari penyerahan kedaulatan rakyat Irak oleh AS ke Irak tanggal 28 Juni 2004.
Setelah penyerahan kedaulatan, rakyat masih harus kecewa karena tentara pendudukan masih belum juga angkat kaki dari Irak, dengan dalih untuk menumpas aksi kelompok bersenjata Irak.
Tentara pendudukan tidak begitu saja meninggalkan Irak bahkan samapi diadakan pemilu di Irak pada hari Minggu, 30 Januari 2005. Tentara pendudukan tetap bercokol di Irak dan kelompok-kelompok bersenjata melakukan perlawanan.
Aksi penyerangan dan bom bunuh diri masih terus terjadi hingga perlawanan terhadap pasukan pendudukan. Aksi ini tidak hanya mengancam tentara pendudukan tetapi juga mengancam warga sipil Irak.
Baku tembak yang terjadi mengakibatkan sulitnya keamanan terwujud, meski pemerintah yang baru sudah terbentuk. Selama pasukan pendudukan masih ada di Irak maka kelompok-kelompok bersenjata masih terus beraksi dan selam itu pula rakyat Irak masih juga jauh dari rasa aman.
Dalam pengakuannya, Amerika Serikat selalu mengatakan bahwa serangannya ke Irak untuk menegakkan demokrasi. Akan tetapi setelah rezim Saddam Husein jatuh, Amerika Serikat mengalami kesulitan membangun pemerintahan baru yang demokratis. Hal ini disebabkan:
- Prinsip Amerika Serikat sendiri tidak demokratis, melainkan berdasarkan pada kepentingan politiknya, yaitu mencegah munculnya penguasa yang menentang kekuasaan atau berafiliasi dengan negara yang menjdai musuh Amerika Serikat.
- Pemimpin yang dipilih Amerika Serikat untuk memimpin Irak tidak mempunyai basis pendukung yang kuat dikalangan rakyat.
Pada tanggal 15 Desember 2005, pemilu demokratis berhasil diadakan di Irak, dimana kelompok sunni yang diwakili oleh United Iraqi Alliance memperoleh kursi terbanyak di palemen Irak, yaitu sebanyak 128 dari total 275 kursi yang ada.
Meskipun pemilu berhasil dilaksnakan, namun legitimasi pemerintahan hasil pemilu sangat rendah karena rakyat Irak menggagap pemerintah itu sebagai pemerintahan boneka Amerika Serikat dan rakyat juga ragu terhadap kekapabilitasnya infasi Amerika Serikat ke Irak bukannya membawa perdamaian dan kesejahteraan Irak khusunya dan Timur Tengah pada umunya, namun semakin meningkatkan terorisme dan radikalisme.
Peristiwa tersebut membuat stabilitas politik semakin terganggu, kekerasan semakin meningkat dan yang jelas harapan akan terwujudnya negara yang demokratis akan semakin jauh dari kenyataan.
Merujuk pada tujuan dasar dari demokrasi dalam mewujudkan keamanan manusia, hingga saat ini demokratisasi Amerika Serikat di Irak tidak menampakkan adanya hasil yang pasti. Hal ini justru cenderung semakin kacau pasca invasi yang dilakukan Amerika Serikat.
Melihat betapa besarnya pentingnya Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah, membuat demokratisasi Amerika Serikat terhadap Irak hanyalah merupakan alat bagi Amerika Serikat untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat internasional guna mencapai kepentingan nasionalnya di kawasan Timur Tengah. Amerika Serikat disini memanfaatkan Irak sebagai pintu masuk untuk mendapatkan akses yang lebih besar untuk mengendalikan negara-negara Timur Tengah lainnya yang dianggap dapat mengancam kepentingan Amerika Serikat, terutama Iran dan Syiriah.
D. DAMPAK PENYERANGAN AS TERHADAP IRAK
Perang telah dinyatakan selesai oleh Bush dan selanjutnya irak jatuh ke tangan pasukan pendudukan pimpinan AS. Setelah tumbangnya Saddam, Irak memasuki babak baru yang sangat berbeda dari sebelumnya. Dari perang yang berlangsung selam 43 hari ini dapat dikatakan bahwa irak mengalami kekalahan. AS telah berhasil menjatuhkan rezim Saddam dan membentuk pemerintahan baru di Irak yang dijanjikan demokratis. (Sumargono, 2010 : 96)
a. Dalam bidang sosial
Meletusnya perang saudara di Irak sendiri, khususnya pendukung Saddam dan kelompok yang kontra Saddam. Latar belakang permusuhan antara kedua kelompok ini sebenarnya sudah ada sebelumnya, namun lebih memanas ketika rezim Saddam jatuh.
Hal tersebut menimbulkan adanya konflik internal di dalam masyarakat sendiri. Pertama yaitu perang saudara antara kelompok Sunni dan Syiah, yang terbukti dengan terbunuhnya Abdul Majid al-Khui (putra dari tokoh Syiah). Hal ini akan terus berlanjuut sampai ada kebijakan politik dan sosial yang akan meredam permusuhan mereka, yang datangnya dari pihak pemerintah yang menjadi alat untuk mendamaikan kedua belah kelompok.
Dari segi peradaban dan pergeseran nilai jelas akan mengalami perubahan yang signifikan diakarenakan akan ada pemerintah baru yang akan mengeluarkan kebijakan baru untuk pembangunan kembali Irak pasca invasi. Peradaban irak di masa depan akan lebih terbuka dan demokratis dibanding pada masa Saddam yang selalu lebih mengutamakan perang sebagai alat menegakkan kehormatan bangsa Irak di mata internasional.
b. Dalam bidang ekonomi
Irak banyak mengalami kerugian ekonomi setelah terjadi perang ini. Hal ini diakibatkan oleh hancurnya infrastruktur yang dimiliki. Kehancuran terjadi pada gedung-gedung pemerintah, rumah sakit, pemukiman penduduk, jalan-jalan, pusat perdagangan serta tempat umum lainnya. Keuntungan yang di dapat hanyalah dari dicabutnya sanksi embargo ekonomi yang telah lama dialami Irak sejak Perang Teluk II.
Irak terkenal dengan banyak ladang minyak yang menduduki posisi kedua setelah Arab Saudi. Masalah minyak inilah yang menjadi faktor utama perhatian dunia terhadap Irak. Hingga akhir Maret 2003 tercatat cadangan minyak di Irak mencapai 11,26 miliar barel atau merupakan cadangan terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi yang diatas 200 milia barel.
Minyak menjadi pendapatan utama pemerintah Irak yakni 95 % lainnya dari perdagangan umum dan wisata. Setiap tahunnya Irak memperoleh pendaapatan 22 miliar dollar AS dari minyak.
c. Dampak bidang Politik
Serangan AS di Irak banyak menyebabkan kehancuran terjadi di Irak. Runtuhnya Saddam tidak membuat serta merta Irak menjadi aman dan damai. Hal ini menimbulkan suatu kekosongan kekuasaan yang menimbulkan adanya manifesto politik yang chaotik dan kadang-kadang berakhir dengan kerusuhan.
Tumbangnya rezim Saddam juga mampu memberikan harapan baru terhadap bangkitnya kembali gerakan politik Syiah Irak yang telah sekian lama tertindas di bawah pemerintah Saddam Hussein. Timbulnya harapan untuk mendapat tempat di dalam tatanan pemerintah yang baru.
Melihat perkembangan Irak pasca Saddam Hussein, dapat disimpulkan bahwa tantangan yang dihadapi AS dan sekutunya pasca perang sangat berat. Kenyataan di lapangan memperlihtkan bahwa pasukan pendudukan tidak dapat sepenuhnya menciptakan stabilitas, keamanan. Kelompok-kelompok oposisi yang sebelumnya telah menjalin hubungan erat dengan AS, tidak mengingkan para pejabat AS memainkan peran yang lebih besar dalam mengelola pemerintahan pasca perang. Kelompok ini kemudian menyatakan bahwa orang-orang Irak kompeten dan mampu untuk mebangnun Irak kembali.
Harapan rakyat Irak untuk membangun kembali Irak tanpa bantuan asng tidak terwujud, karena AS telah mempunyai skenario dan rencana sendiri dalam Irak. Setelah runtuhnya Saddam Hussein yang disusul dengan pembentukan Dewan Pemerintah Sementara ternyata muncul perlawanan-perlawanan bersenjata.
Berbagai kelompok bersenjata bermunculan bahkan sampai pada hari penyerahan kedaulatan rakyat Irak oleh AS ke Irak tanggal 28 Juni 2004. Setelah penyerahan kedaulatan, rakyat masih harus kecewa karena tentara pendudukan masih belum juga angkat kaki dari Irak, dengan dalih untuk menumpas aksi kelompok bersenjata Irak.
Tentara pendudukan tidak begitu saja meninggalkan Irak bahkan samapi diadakan pemilu di Irak pada hari Minggu, 30 Januari 2005. Tentara pendudukan tetap bercokol di Irak dan kelompok-kelompok bersenjata melakukan perlawanan. Aksi penyerangan dan bom bunuh diri masih terus terjadi hingga perlawanan terhadap pasukan pendudukan.
Aksi ini tidak hanya mengancam tentara pendudukan tetapi juga mengancam warga sipil Irak. Baku tembak yang terjadi mengakibatkan sulitnya keamanan terwujud, meski pemerintah yang baru sudah terbentuk. Selama pasukan pendudukan masih ada di Irak maka kelompok-kelompok bersenjata masih terus beraksi dan selam itu pula rakyat Irak masih juga jauh dari rasa aman.
Demikianlah contoh makalah yang berjudul tentang Isu Senjata Pemusnah Massal (Invasi Amerika Serikat Terhadap Irak). Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Terimakasih Sudah Meluangkan Waktu Berkunjung Di Blog Ini 😁
EmoticonEmoticon