Pendekatan Dalam Bimbingan Dan Konseling
Kata Pendekatan terdiri dari kata dasar dekat dan mendapat imbuhan Pe-an yang berarti hal, usaha atau perbuatan mendekati atau mendekatkan. Jadi Pendekatan Bimbingan dan Konseling adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seorang konselor untuk mendekati kliennya sehingga klien mau menceritakan masalahnya.
Dalam melaksanakan kegiatan bimbingan konseling ada beberapa pendekatan yang biasa digunakan. Antara lain yaitu :
a. Pendekatan Psikologis
Materi Terkait:
a. Pendekatan Psikologis
Sebagai mahluk yang diciptakan oleh tuhan ,anak bimbing harus dipandang menurut teori homoiestetis(mekanisme keseimbangan antara berbagai unsur potensi), yakni sebagai manusia ia harus bertumbuh dan berkembang dalam fisik dan mental dalam pola keseimbangan dan keserasian.
Antara kehidupan jasmaniah dan rohaniah saling mempengaruhi satu sama lain secara seimbang dan selaras sehingga menjadikan dirinya manusia dewasa yang sehat dan sejahtera lahir dan batin. Oleh karena itu, pembimbing hendaknya melihat segi sebagai titik tolak memberikan bantuan kepada anak bimbing.
Jadi dengan kata lain pendekatan psikologis tersebut hendaknya ditujukan pada usaha pengembangan individual anak bimbing kearah kesehatan rohaniah sehingga akan berakhir dengan terbentuknya kepribadian yang bulat dan sehat. Dalam kepribadian yang demikian itulah, nilai–nilai agama kita akan berkembang menjadi kekuatan pengendali terhadap segala bentuk tingkah lakunya sesari-hari, terutama terhadap dorongan nafsu rendah.
b. Pendekatan Sosiologis
Anak bimbing bukan saja sebagai mahluk individual yang harus dibimbing agar menjadi manusia yang sadar akan kemampuan individualnya.Melainkan juga sebagai mahluk sosial yang mampu mengembangkan dirinya sebagai anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan yang sehat jasmani dan rohani. Sebagai mahluk yang bermasyarakat atau (homososius).
Suatu tuntutan sosial untuk hidup diatas rasa solidaritas sosial, tanggung jawab sosial, dan rasa ikut bertanggung jawab terhadap baik buruk, maju mundurnya hidup bermasyarakat adalah menjadi faktor motivasi dalam kegiatan bimbingan dan konsling karena dengan demikian maka proses sosialisasi anak bimbing yang dilandasi nilai-nilai keimanan dan takwa, akan mampu membentuk sikap dan mental.
c. Pendekatan Kependidikan (Paedagogis)
Sistem pendekatan kependidikan (Paedagogis) yang memandang manusia sebagai mahluk yang harus di didik (homo endocandum). Karena potensi kejiwaan yang memiliki kemungkinan berkembang kearah kematangan perlu pendidikan yang tepat.Tanpa di bimbing, potensi kejiwaan tersebut tidak akan sampai pada titik optimal perkembanganya yang menguntungkan diri anak bimbing.
d. Pendekatan Direktif
Pendekatan ini bertolak dari asumsi bahwa manusia merupakan makhluk rasional dan memiliki potensi-potensi yang bisa dikembangkan ke arah positif atau negatif. Manusia dipandang tidak akan bisa berkembang secara otonom, melainkan butuh pertolongan orang lain agar dapat mencapai batas kemampuannya secara penuh.
Menurut pendekatan ini hakikat kecemasan seseorang adalah ketidak-pastian tentang cara menggunakan potensi-potensinya. Tujuan pendekatan konseling ini adalah menolong individu untuk secara bertahap dan pelan-pelan semakin memahami dan semakin terampil mengatur dirinya sendiri. biasanya menggunakan teknik mengubah lingkungan, memilih lingkungan, mengajarkan aneka keterampilan yang diperlukan, dan mengubah sikapdengan melakukan berbagai macam tes dan alat ukur lain.
Riwayat hidup konseli perlu diungkap agar konseling dapat dilaksanakan. Dengan cara mendiagnosis dan prognosis.Pendekatan direktif ini biasanya cocok dipakai terhadap klien-klien ‘Normal’ yang butuh pertolongan agar merasa siap menghadapi aneka tuntutan penyesuaian sebelum berkembang konflik-konflik di dalam dirinya. Dalam pendekatan ini si konselor harus berperan aktif.
e. Pendekatan Non-Direktif
Pendekatan ini semula dikembangkan oleh Carl Rogers. Dewasa ini, pendekatan ini disebut sebagaikonseling yang berpusat pada klien. Asumsi dasar yang melandasi pendekatan ini adalah bahwa manusia pada dasarnya rasional, baik, dapat dipercaya, bergerak ke arah aktualisasi diri, sehat, realisasi diri, bebas, dan otonomi.
Permasalahan yang dihadapi dalam pendekatan ini yaitu konseli merasa cemas sebab terjadi ketidakseimbangan antara konsep dirinya dan pengalamannya. Dalam pendekatan ini, teknik konselingnya dipusatkan pada si konseli, bukan pada masalahnya. Cara konselor menanganinya yaitu dengan menunjukkan sikap-sikap kongruensi, empati, dan ketulusan tanpa syarat pada kliennya.
Seorang konselor Non-direktif bertindak sejenis katalisator. Ia berbicara sangat sedikit, sebaliknya menggunakan sebagian besar waktunya untuk mendengarkan dan menunggu. Selain itu peran konselor adalah sebagai fasilitator dan reflektor.
Tugasnya adalah menolong konseli memahami dirinya, menjernihkan serta merefleksikan kembali perasaan-perasaan dan sikap-sikap yang dinyatakan konseli. Konselor berusaha menciptakan iklim di mana konseli mampu melakukan perubahan di dalam dirinya. Adapun tujuan pendekatan Non-direktif ada beberapa macam. Yaitu:
- Membebaskan klien dari berbagai konflik psikologis yang dihadapinya.
- Menumbuhkan kepercayaan pada diri klien, bahwa ia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan terbaik bagi dirinya tanpa merugikan orang lain.
- Memberikan kesempatan kepada klien untuk mempercayai orang lain dan siap menerima pengalaman orang lain yang bermanfaat baginya.
- Memberikan kesadaran kepada klien bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu lingkungan sosial budaya yang luas.
- Menumbuhkan keyakinan pada klien bahwa dirinya terus tumbuh dan berkembang (process of becoming).
- Klien mengalami kesukaran emosional dan tidak dapat menganalisis secara raional dan logis.
- Konselor memiliki kemampuan yang cukup tinggi untuk menangkap penghayatan emosi dalam mengungkapkan masalah dari klien dan memantulkan kembali kepada klien dalam bahasa dan tindakan yang sesuai.
- Pendekatan ini sangat baik digunakan jika klien memiliki kemampuan untuk merefleksikan diri dan mengungkapkan perasaan-perasaan serta pikiran-pikirannya secara verbal. dll
- Pendekatan ini menyita banyak waktu bila wawancara konseling tidak terarah.
- Kemampuan dan keberanian klien untuk mengungkapkan secara verbal seluruh permasalahannya sangat terbatas.
- Kesukaran-kesukaran klien dalam menerima dan memahami diri sendiri.
- Pendekatan ini menuntut sifat dan sikap kedewasaan dari klien.
- Kesukaran-kesukaran konselor dalam aspek klinis sering merupakan masalah, karena konselor belum terlatih dalam masalah psikologis.
Teori Konseling Rasional Emotif dalam istilah lain dikenal dengan "rasional-emotif therapy" yang dikembangkan oleh Dr. Albert Ellis, seorang ahli Clinikal Psychology (Psikologi klinis).
Tujuan dari RET Albert Ellis pada intinya ialah untuk mengatasi pikiran yang tidak logis tentang diri sendiri dan lingkungannya. Konselor berusaha agar klien makin menyadari pikiran dan ucapannya sendiri, serta mengadakan pendekatan yang tegas, melatih klien untuk bisa berpikir dan berbuat yang lebih realistis dan rasional.
Pendekatan ini sangat ideal apabila diterapkan di sekolah. Guru melalui mata pelajaran yang diajarkan kepada siswanya secara langsung bisa mengaitkan pola bimbingan yang terpadu untuk mempengaruhi para siswanya untuk segera meninggalkan tindakan, pikiran, dan perasaan yang tidak rasional.
Ciri-ciri konseling Rasional-Emotif dapat diuraikan sebagai berikut :
- Dalam menelusuri masalah klien yang dibantunya, konselor berperan lebih aktif dibandingkan dengan klien.
- Dalam proses hubungan konseling harus diciptakan dan dipelihara hubungan baik dengan klien.
- Tercipta dan terpeliharanya hubungan baik ini dipergunakan oleh konselor untuk membantu klien mengubah cara berfikirnya yang tidak rasional menjadi rasional.
- Dalam proses hubungan konseling, konselor tidak terlalu banyak menelusuri kehidupan masa lampau klien.
- Diagnosis (rumusan masalah) yang dilakukan dengan konseling rasional-emotif bertujuan untuk membuka ketidaklogisan pola pikir dari klien.
Prinsip-prinsip yang dikembangkan melalui analisis transaksional diperkenalkan pertama kali pada tahun 1956 oleh Eric Berne, dan kemudian disusul dengan pembahasan yang mendalam di depan Regional Meeting of The American Group Psychotherapy Association di Los Angeles, bulan November 1957, yang berjudul: "Transactional Analysis: A New and Effective Method Group Therapy".
Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Eric Berne dalam analisis transaksional adalah upaya untuk merangsang rasa tanggung jawab pribadi atas tingkah lakunya sendiri, pemikiran yang logis, rasional, tujuan-tujuan realistis, berkomunikasi terbuka, wajar dan pemah dalam berhubungan dengan orang lain. Tujuan pendekatan Analisis Transaksional diantaranya yaitu :
- Konselor membantu klien yang mengalami kontaminasi (pencemaran) status ego yang berlebihan.
- Konselor berusaha membantu mengembangkan kapasitas diri klien dalam menggunakan semua status egonya yang cocok.
- Konselor berusaha membantu klien di dalam mengembangkan seluruh status ego dewasanya. Pengembangan ini pada hakikatnya adalah menetapkan pikiran dan penalaran individu
Secara historis analisis transaksional dari Eric Berne berasal dari psikoanalisis yang dipergunakan dalam konseling atau terapi kelompok, tetapi kini telah dipergunakan pula secara meluas dalam konseling atau terapi individual.
h. Pendekatan Klinikal
Konseling Klinikal berkembang diawali dari konsep konseling jabatan (vocational counseling), yang menitik-beratkan pada kesesuaian pendidikan dengan jabatan(vocational). Konseling jabatan pertama-tama dirintis dan diperkenalkan oleh Frank Parson (1909) yang menekankan kepada tiga aspek penting, yaitu :
- Pemahaman yang jelas tentang potensi-potensi yang dimiliki individu termasuk di dalamnya ialah tentang bakat, minat, kecakapan, kekuatan-kekuatan maupun kelemahan-kelemahannya.
- Pengetahuan tentang syarat, kondisi, kesempatan dan tentang prospek dari berbagai jenis pekerjaan atau karir.
- Penyesuaian yang tepat antara kedua aspek tersebut.
- Membantu siswa yang menghadapi masalah yang tidak dapat memecahkan masalahnya sendiri. Dengan cara, konselor harus memahami dengan seksama seluk beluk dan liku-liku masalah yang dihadapi oleh siswa.
- Membantu siswa mempelajari, memahami, dan menghayati dirinya sendiri serta lingkungannya, serta melancarkan terjadinya proses pengembangan diri, pemahaman diri, perwujudan cita-cita dan penemuan identitas diri.
- Agar individu mampu belajar melihat dirinya sendiri sebagaimana adanya dan mampu untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya secara optimal. Untuk mencapai tujuan ini, pola hubungan yang penuh dengan keakraban, bersahabat, perhatian, dan ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain perlu ditanamkan dalam proses hubungan konseling.
- Langkah Diagnosis I yaitu konselor berusaha mengumpulkan dari berbagai sumber dan berbagai pihak yang diduga ada relevansinya dengan masalah yang dihadapi siswa.
- Langkah Sintesis ialah suatu langkah untuk membuat suatu rangkuman data, sehingga tampak jelas hal-hal unik yang berhubungan dengan masalah siswa.
- Langkah Diagnosis II yaitu kegiatan untuk menyusun gambaran kondisi siswa. Dengan tersusunnya gambaran kondisi sehingga tampak dengan jelas masalah apa yang sedang dialami siswa dan faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya masalah tersebut.
- Langkah Prognosis adalah suatu usaha untuk memilih alternatif tindakan yang dapat membantu siswa dalam mengatasi sendiri masalahnya.
- Langkah Treatment atau penyembuhan adalah pelaksanaan pemberian bantuan kepada siswa.
- Langkah Follow Up (lanjutan) ialah membantu siswa melaksanakan rerncana tindakan langkah awal sampai terakhir sedangkan klien itu sendiri kelihatan aktif pada waktu terjadi hubungan wawancara konseling saja.
Baca Juga:
Terimakasih Sudah Meluangkan Waktu Berkunjung Di Blog Ini 😁
EmoticonEmoticon