Kemampuan Konselor Konseling Lintas Budaya
A. Konseling Lintas BudayaSebelum membahas mengenai konselor konseling lintas budaya, terlebih dahulu saya uraiakan sedikit mengenai pengertian budaya, budaya dapat diartikan sebagai hasil budi manusia, hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat), dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan, yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. Budaya adalah gaya hidup yang unik suatu kelompok manusia tertentu.
Budaya adalah bagian lingkungan yang dibuat oleh manusia. Selanjutnya manusia menjadi pelaku budaya itu sendiri. Fenomena budaya ada di mana-mana. Hampir seluruh dimensi perilaku manusia merupakan dimensi budaya. Fenomena tumbuh melalui makhluk yang berbahasa, dan berkembang ketika manusia berinteraksi dengan lingkungan. Tidak sedikit akibat yang dimunculkan ketika manusia memperlakukan lingkungannya menurut persepsi yang berbeda. Dari gejala ini timbul bermacam-macam usaha manusia untuk mempertahankan lingkungan budayanya.
Keinginan untuk mempertahankan ini dapat dilihat baik dalam satuan perilaku manusia selaku individu maupun melalui perilaku komunitas. Tidak jarang terjadi konflik ketika perilaku itu berinteraksi dengan perilaku lain yang dilatarbelakangi oleh sistem berpikir, budaya dan nilai yang berbeda satu sama lain.
Di pandang dari perspektif lintas budaya , konseling dapar diartikan sebuah ‘perjumpaan kultural’ (cultural encounter) antara konselor dengan klien. Oleh karena itu Konseling lintas budaya mempunyai arti yaitu suatu hubungan konseling dimana dua peserta atau lebih, berbeda dalam latar belakang budaya, nilai nilai dan gaya hidup.
Asumsi dasar konseling lintas budaya adalah bahwa individu yang terlibat dalam konseling itu hidup dan terbentuk oleh lingkungan budaya, baik keluarga maupun masyarakat. Perbedaaan yang dimiliki sebenarnya meliputi berbagai macam hal misalnya agama, jenis kelamin, pekerjaan, suku bangsa, bahasa dan lainnya. Disamping itu faktor masyarakat menjadi hal yang penting dalam pembentukan individu. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara konselor dan klien bukan hanya mencakup bangsa tetapi juga mencakup aspek kebudayaan yang luas.
B. Konselor Konseling Lintas Budaya
konseling lintas budaya sebagai suatu proses konseling yang melibatkan antara konselor dan klien yang berbeda budayanya, dan dilakukan dengan memperlihatkan budaya subyek yang terlibat dalam konseling. untuk itu konselor diharapkan mengetahui aspek-aspek khusus dalam proses konseling dan dalam gaya konseling, agar proses pend*mping*n menjadi sangat terampil dan efektif.
konseling lintas budaya juga akan terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Dalam konseling lintas budaya klien dan konselor mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar.
Asumsi dasar konseling lintas budaya adalah bahwa individu yang terlibat dalam konseling itu hidup dan terbentuk oleh lingkungan budaya, baik keluarga maupun masyarakat. Perbedaaan yang dimiliki sebenarnya meliputi berbagai macam hal misalnya agama, jenis kelamin, pekerjaan, suku bangsa, bahasa dan lainnya. Disamping itu faktor masyarakat menjadi hal yang penting dalam pembentukan individu. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara konselor dan klien bukan hanya mencakup bangsa tetapi juga mencakup aspek kebudayaan yang luas.
B. Konselor Konseling Lintas Budaya
konseling lintas budaya sebagai suatu proses konseling yang melibatkan antara konselor dan klien yang berbeda budayanya, dan dilakukan dengan memperlihatkan budaya subyek yang terlibat dalam konseling. untuk itu konselor diharapkan mengetahui aspek-aspek khusus dalam proses konseling dan dalam gaya konseling, agar proses pend*mping*n menjadi sangat terampil dan efektif.
konseling lintas budaya juga akan terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Dalam konseling lintas budaya klien dan konselor mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar.
Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari kultur budaya yang berbeda. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda dan dalam kegiatan sehari-hari, konselor akan berhadapan dengan klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya.
Dalam proses konseling akan terjadi suatu proses belajar, tranferensi dan kounter-transferensi, dan saling menilai. Dari segi konselor, ketepatan inferensi ini yang kemudian mendasari tindakannya dalam konseling akan tergantung pada kemampuan pemahamannya secara utuh terhadap klien.
Dilihat Dari segi klien, ketepatan inferensi merujuk pada pola-pola perilaku yang dimiliki sebelumnya, Masalah akan timbul manakala ada perbedaan antara persepsi dan nilai-nilai yang menjadi keyakinan kedua belah pihak, hal ini dapa terjadi karena ketidakpekaan konselor terhadap latar belakang budaya klien.
Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar klien yang satu dengan klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. Budaya yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi sosial manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Masalah tersebut dapat muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya. Sangat mungkin masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur kebudayaan, yaitu budaya yang dianut oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu tersebut. Manusia tidak dapat terlepas dari budaya, keduanya saling memberikan pengaruh yang cukup besar.
Pengaruh budaya terhadap kepribadian individu akan terlihat pada perilaku atau tingkah laku yang ditampilkan. Oleh karena itu dalam proses konseling tidak dapat dihindari adanya keterkaitan unsur-unsur budaya. Keragaman budaya dapat menimbulkan konsekuensi munculnya etnosetrisme dan kesulitan dalam berkomunikasi.
Konselor lintas budaya hendaknya dapat melakukan tugasnya secara efektif, maka untuk itu konselor perlu memahami bagaimana dirirnya sendiri dan diri klien atau konseli. Sikap konselor dalam melaksanakan hubungan konseling akan menimbulkan perasaan-perasaan tertentu pada diri klien, dan akan menentukan kualitas dan keefektifan proses konseling. Oleh karena itu, konselor dapat menghormati sikap klien, termasuk nilai-nilai agama, budaya, kepercayaan, dan lain sebagainya.
Selain itu Konselor harus pandai dalam memahami persoalan-persoalan konseli yang memiliki pandangan berbeda-beda. Keadaan yang ada pada konseli itu juga terjadi pada konselor, namun karena posisi konselor sebagai helper, maka konselor harus memiliki kesadaran diri. Tidak mudah bagi konselor untuk melakukan hal tersebut, untuk itu konselor harus menerapkan pendekatan-pendekatan dalam prosos konseling lintas budaya.
Konselor yang efektif adalah konselor yang dapat mengadaptasikan model-model, teori-teori, atau teknik konseling dengan kebutuhan individu yang unik dari masing-masing konseli. Dalam konseling lintas budaya memerlukan pengenalan tentang :
Sehingga dalam proses konseling lintas budaya ini konselor seharusnya :
1. Bahasa
Perbedaan bahasa merupakan penghambat besar yang perlu diperhatikan dalam konseling lintas budaya. Hambatan ini bisa dijumpai jika konselor menghadapi klien yang kemungkinan menguasai bahasa lain, tingkat penguasaan budayanya kurang, sering konselor menguasai bahasa daerahnya disamping bahasa Indonesia.
2. Nilai
Nilai ikatan budaya merupakan suatu penghambat pada konseling lintas budaya. Misalnya perbedaan nilai budaya tentang sikap terbuka, pengungkapan diri, pembukaan diri antara nilai yang ada pada konselor dengan nilai klien. tidak sedikit terdapat perbedaan nilai yang ada pada konselor dan nilai-nilai yang dianut oleh klien. Klien menganut nilai-nilai dari kehidupan keluarganya itupun masih sering terdapat kesenjangan nilai dengan orang tua apalagi dengan konselor yang merupakan orang lain bagi klien, maka kesenjangan nilai sering terjadi.
3. Stereotipe
Stereotipe adalah opini atau pendapat yang terlalu disederhanakan. Stereotipe merupakan generalisasi mengenai orang-orang dari kelompok lain, dimana seseorang memberi definisi terlebih dahulu kemudian baru mengamati. Stereotipe meruapakan kendala konseling (termasuk hambatan sikap) karena terbentuk secara lama dan berakar sehingga sulit untuk diubah.
Dalam proses konseling akan terjadi suatu proses belajar, tranferensi dan kounter-transferensi, dan saling menilai. Dari segi konselor, ketepatan inferensi ini yang kemudian mendasari tindakannya dalam konseling akan tergantung pada kemampuan pemahamannya secara utuh terhadap klien.
Dilihat Dari segi klien, ketepatan inferensi merujuk pada pola-pola perilaku yang dimiliki sebelumnya, Masalah akan timbul manakala ada perbedaan antara persepsi dan nilai-nilai yang menjadi keyakinan kedua belah pihak, hal ini dapa terjadi karena ketidakpekaan konselor terhadap latar belakang budaya klien.
Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar klien yang satu dengan klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. Budaya yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi sosial manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Masalah tersebut dapat muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya. Sangat mungkin masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur kebudayaan, yaitu budaya yang dianut oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu tersebut. Manusia tidak dapat terlepas dari budaya, keduanya saling memberikan pengaruh yang cukup besar.
Pengaruh budaya terhadap kepribadian individu akan terlihat pada perilaku atau tingkah laku yang ditampilkan. Oleh karena itu dalam proses konseling tidak dapat dihindari adanya keterkaitan unsur-unsur budaya. Keragaman budaya dapat menimbulkan konsekuensi munculnya etnosetrisme dan kesulitan dalam berkomunikasi.
Konselor lintas budaya hendaknya dapat melakukan tugasnya secara efektif, maka untuk itu konselor perlu memahami bagaimana dirirnya sendiri dan diri klien atau konseli. Sikap konselor dalam melaksanakan hubungan konseling akan menimbulkan perasaan-perasaan tertentu pada diri klien, dan akan menentukan kualitas dan keefektifan proses konseling. Oleh karena itu, konselor dapat menghormati sikap klien, termasuk nilai-nilai agama, budaya, kepercayaan, dan lain sebagainya.
Selain itu Konselor harus pandai dalam memahami persoalan-persoalan konseli yang memiliki pandangan berbeda-beda. Keadaan yang ada pada konseli itu juga terjadi pada konselor, namun karena posisi konselor sebagai helper, maka konselor harus memiliki kesadaran diri. Tidak mudah bagi konselor untuk melakukan hal tersebut, untuk itu konselor harus menerapkan pendekatan-pendekatan dalam prosos konseling lintas budaya.
Konselor yang efektif adalah konselor yang dapat mengadaptasikan model-model, teori-teori, atau teknik konseling dengan kebutuhan individu yang unik dari masing-masing konseli. Dalam konseling lintas budaya memerlukan pengenalan tentang :
- Pentingnya anggota kelompok ras/etnis bagi sosialisasi konseli,
- Pentingnya dan uniknya individu,
- Adanya dan tempat nilai-nilai dalam proses konseling, dan
- Keunuikan gaya belajar, tujuan pekerjaan, dan tujuan hidup konseli.
Sehingga dalam proses konseling lintas budaya ini konselor seharusnya :
- Memahami nilai-nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda.
- Sadar bahwa tidak ada yang netral secara politik dan moral.
- Dapat berbagi pandangan tentang dunia klien dan tidak tertutup.
- Latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor
- Latar belakang budaya yang dimiliki oleh klien
- Asumsi-asumsi terhadap masalah yang dihadapi selama konseling
- Nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan dalam proses Konseling
1. Bahasa
Perbedaan bahasa merupakan penghambat besar yang perlu diperhatikan dalam konseling lintas budaya. Hambatan ini bisa dijumpai jika konselor menghadapi klien yang kemungkinan menguasai bahasa lain, tingkat penguasaan budayanya kurang, sering konselor menguasai bahasa daerahnya disamping bahasa Indonesia.
2. Nilai
Nilai ikatan budaya merupakan suatu penghambat pada konseling lintas budaya. Misalnya perbedaan nilai budaya tentang sikap terbuka, pengungkapan diri, pembukaan diri antara nilai yang ada pada konselor dengan nilai klien. tidak sedikit terdapat perbedaan nilai yang ada pada konselor dan nilai-nilai yang dianut oleh klien. Klien menganut nilai-nilai dari kehidupan keluarganya itupun masih sering terdapat kesenjangan nilai dengan orang tua apalagi dengan konselor yang merupakan orang lain bagi klien, maka kesenjangan nilai sering terjadi.
3. Stereotipe
Stereotipe adalah opini atau pendapat yang terlalu disederhanakan. Stereotipe merupakan generalisasi mengenai orang-orang dari kelompok lain, dimana seseorang memberi definisi terlebih dahulu kemudian baru mengamati. Stereotipe meruapakan kendala konseling (termasuk hambatan sikap) karena terbentuk secara lama dan berakar sehingga sulit untuk diubah.
Hal ini dapat dipahami karena stereotipe itu sebagai hasil belajar, sehingga makin lama belajar makin sulit diubah. Lebih-lebih menjadi kendala jika konselor dihinggapi stereotipe, apalagi klien juga punya stereotipe, dan keadaannya berlawanan. Ungkapan-ungkapan stereotipe misalnya orang Solo itu halus, Madura itu keras, anak itu malas, anak itu badung. Stereotipe itu bisa berupa kelompok dan bisa perorangan.
4. Kelas Sosial
Di salam masyarakat terdapat kelas sosial atas (atas-atas, atas-menengah, atas-bawah); Menengah (Menengah-atas, menengah-menengah, menengah-bawah); dan bawah (Bawah-atas, bawah-menengah, bawah-bawah). Pada proses konseling, tingkat perbedaan antara pengalaman antara konselor dengan klien, persepsi dan wawasan mereka terhadap dunia dapat merupakan hambatan besar. Konselor dari kelas sosial menengah mungkin kurang paham terhadap kebiasaan klien dan kelas sosial bawah atau atas.
5. Suku atau Bangsa
Perbedaan suku seringkali merupakan penghambat proses konseling, karena masing-masing suku memiliki kebiasaan dan budaya yang berbeda, hal ini yang perlu dipahami oleh konselor.
6. Jenis Kelamin
Perbedaan jenis kelamin antara konselor dengan klien juga merupakan penghambat proses konseling. Apalagi diantara mereka terhinggapi stereotipe terhadap jenis kelamin tertentu. Misalnya, konselor pria mempunyai stereotipe terhadap klien wanita yang mudah terpengaruh dan mudah emosi. Sedangkan Klien pria mempunyai stereotipe terhadap konselor wanita yang tidak tegas.
4. Kelas Sosial
Di salam masyarakat terdapat kelas sosial atas (atas-atas, atas-menengah, atas-bawah); Menengah (Menengah-atas, menengah-menengah, menengah-bawah); dan bawah (Bawah-atas, bawah-menengah, bawah-bawah). Pada proses konseling, tingkat perbedaan antara pengalaman antara konselor dengan klien, persepsi dan wawasan mereka terhadap dunia dapat merupakan hambatan besar. Konselor dari kelas sosial menengah mungkin kurang paham terhadap kebiasaan klien dan kelas sosial bawah atau atas.
5. Suku atau Bangsa
Perbedaan suku seringkali merupakan penghambat proses konseling, karena masing-masing suku memiliki kebiasaan dan budaya yang berbeda, hal ini yang perlu dipahami oleh konselor.
6. Jenis Kelamin
Perbedaan jenis kelamin antara konselor dengan klien juga merupakan penghambat proses konseling. Apalagi diantara mereka terhinggapi stereotipe terhadap jenis kelamin tertentu. Misalnya, konselor pria mempunyai stereotipe terhadap klien wanita yang mudah terpengaruh dan mudah emosi. Sedangkan Klien pria mempunyai stereotipe terhadap konselor wanita yang tidak tegas.
Sebaliknya, klien wanita menganggap konselor pria yang tidak dapat memahami perasaannya, karena pada dasarnya pria itu banyak menggunakan rasionya.
7. Usia
Proses konseling tidak hanya untuk anak-anak usia remaja. Perkembangan berikutnya konseling melayani segala usia, dari anak-anak sampai usia tua. Masing-masing periode perkembangan (usia) memiliki karakteristik yang berbeda, yang harus dipahami terutama oleh konselor. Usia merupakan penghambat karena pada dasarnya pada usia tertentu ada kebutuhan, karakteristik, atau hal-hal yang perlu dipahami oleh konselor.
Misalnya, konselor yang masih muda membantu klien yang lebih tua usianya. Hal ini bukan berarti tidak ada problem bagi konselor yang melayani anak-anak usia muda.
8. Keadaan Orang-orang Cacat
Keadaan orang cacat merupakan penghambat bagi proses konseling. Keadaan cacat yang dimiliki seseorang akan memperngaruhi perilaku, sikap, kepekaan perasaan, dan reaksinya terhadap lingkungan.
9. Gaya Hidup
Gaya hidup dapat dibagi menjadi gaya hidup tradisional, dengan perkawainan dan anak-anak, dan gaya hidup alternatif yang kadang-kadang dan seringkali tidak diakui oleh masyarakat luas. Gaya hidup alternatif misalnya hidup sendiri, perkawainan tanpa anak, hidup bersama tanpa pernikahan, hidup sederhana tanpa harta benda.
8. Keadaan Orang-orang Cacat
Keadaan orang cacat merupakan penghambat bagi proses konseling. Keadaan cacat yang dimiliki seseorang akan memperngaruhi perilaku, sikap, kepekaan perasaan, dan reaksinya terhadap lingkungan.
9. Gaya Hidup
Gaya hidup dapat dibagi menjadi gaya hidup tradisional, dengan perkawainan dan anak-anak, dan gaya hidup alternatif yang kadang-kadang dan seringkali tidak diakui oleh masyarakat luas. Gaya hidup alternatif misalnya hidup sendiri, perkawainan tanpa anak, hidup bersama tanpa pernikahan, hidup sederhana tanpa harta benda.
Ada banyak gaya hidup yang merupakan penghambat proses konseling, terutama gaya hidup alternatife yang sulit dimengerti dan diterima oleh masyarakat umum termasuk konselor.
Untuk menghadapi faktor – faktor yang menghambat diatas, dasar-dasar utama pribadi konselor agar dapat melaksanakan konseling lintas budaya dengan efektif, yaitu :
Untuk menghadapi faktor – faktor yang menghambat diatas, dasar-dasar utama pribadi konselor agar dapat melaksanakan konseling lintas budaya dengan efektif, yaitu :
Congruence
Konselor harus genuine, integrated, dan whole person dimana ia berusaha menjadi dirinya yang utuh dalam setiap setting sosial artinya pada saat ia menjadi konselor ia akan mampu memanfaatkan bagian dari dirinya yang relevan dengan peranannya sebagai konselor.
Konselor harus genuine, integrated, dan whole person dimana ia berusaha menjadi dirinya yang utuh dalam setiap setting sosial artinya pada saat ia menjadi konselor ia akan mampu memanfaatkan bagian dari dirinya yang relevan dengan peranannya sebagai konselor.
Empati
Kemampuan konselor untuk merasakan apa yang klien rasakan bahkan konselor mampu membayangkan seandainya ia yang berada pada posisi klien mengakibatkan terciptanya hubungan sosioemosinal yang dalam dan itu membuat klien dapat bercerita dengan sukarela dan terbuka mengenai dirinya bahkan yang menjadi rahasinya.
Unconditional positive regard
Menerima keadaan klien secara utuh tanpa memberikan penilaian apapun terhadap keberadaan dan prilaku klien. Konselor berusaha berpikir positif memahami dunia klien apa adanya tanpa adanya kritikkan yang akan membuat klien membangun mekanisme pertahanan diri yang kuat, sehingga menciptakan rasa aman yang membuat klien bisa memahami masalahnya secara utuh.
Kemampuan konselor untuk merasakan apa yang klien rasakan bahkan konselor mampu membayangkan seandainya ia yang berada pada posisi klien mengakibatkan terciptanya hubungan sosioemosinal yang dalam dan itu membuat klien dapat bercerita dengan sukarela dan terbuka mengenai dirinya bahkan yang menjadi rahasinya.
Unconditional positive regard
Menerima keadaan klien secara utuh tanpa memberikan penilaian apapun terhadap keberadaan dan prilaku klien. Konselor berusaha berpikir positif memahami dunia klien apa adanya tanpa adanya kritikkan yang akan membuat klien membangun mekanisme pertahanan diri yang kuat, sehingga menciptakan rasa aman yang membuat klien bisa memahami masalahnya secara utuh.
Seorang konselor konseling lintas budaya juga harus mempunyai karakteristik yang mantap agar melaksanakan konseling lintas budaya dapat berjalan efektif. Adapun karakteristiknya antara lain:
- Konselor lintas Budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimiliki dan asumsi-asumsi terbaru tentang prilaku manusia
- Konselor sadar bahwa dia memiliki nilai-nilai sendiri yang dijunjung tinggi dan akan terus dipertahankan. Disisi lain, konselor juga menyadari bahwa klien memiliki nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Oleh karena itu, konselor harus bisa menerima nilai-nilai yang berbeda itu sekaligus mempelajarinya.
- Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum. Konselor memiliki pemahaman yang cukup mengenai konseling secara umum sehingga akan membantunya dalam melaksanakan konseling, sebaiknya konselor sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap kaidah konseling akan membantu konselor dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien.
- Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan dan mereka mempunyai perhatian terhadap lingkungannya. Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai, norma dan keyakinan yang dimiliki oleh suku agama tertentu. Untuk mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus mau belajar dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik, baik agama maupun budayanya. Dengan mengadakan perhatian atau observasi, diharapkan konselor dapat mencegah terjadinya rintangan selama proses konseling.
- Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong klien untuk dapat memahami budaya dan nilai - nilai yang dimiliki konselor. Untuk hal ini ada aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan bahwa konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Hal ini mengimplikasikan bahwa sekecil apapun kemauan konselor tidak boleh dipaksakan kepada klien. Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor tanpa persetujuan klien.Konselor lintas budaya dan agama dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan pendekatan ekletik. Pendekatan ekletik adalah suatu pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk menggabungkan beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu memecahkan masalah klien. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien yang mempunyai perbedaan gaya dan pandangan hidup. Untuk itu konselor harus memiliki wawasan keilmuan yang luas.
Untuk dapat memperhatikan kebudayan konseli , konselor harus memiliki pribadi yang peka atau sensitif terhadap keadaan konseli.Kemampuan konselor dalam konseling lintas budaya sangat dibutuhkan, sebab konseling lintas budaya akan berjalan efektif bila konselor memiliki kemampuan (skill) dan pribadi yang mantap atau sensitifitas terhadap klien.
DAFTAR PUSTAKA
Boy Soedarmadji, Konseling lintas Budaya,
Prayitno. 1987. Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselor. Jakarta: Depdikbud.
Yusuf, Yusmar. Psikologi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya
www.boy_soedarmadji.wordPress.com
Prayitno. 1987. Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselor. Jakarta: Depdikbud.
Yusuf, Yusmar. Psikologi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya
www.boy_soedarmadji.wordPress.com
Terimakasih Sudah Meluangkan Waktu Berkunjung Di Blog Ini 😁
EmoticonEmoticon