Fenomena Kemerosotan Karakter Bangsa Indonesia
Apabila UU No. 20 Tahun 2003, Pasal 3 dicermati dengan bijak, pendidikan nasional mengutamakan pendidikan yang mampu membentuk karakter bangsa, memiliki keterampilan dan keahlian, sehingga bangsa Indonesia cerdas dalam kemampuan dan cerdas dalam kehidupannya. Kehidupan cerdas membuat manusia menjadi lebih manusiawi daripada hanya cerdas otak.Rumusan Undang-Undang tersebut berbunyi demikian, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Dari pasal 3 tersebut, hanya kalimat ”mengembangkan kemampuan” yang berkaitan dengan konten ilmu pengetahuan sebagai hard-skills, selebihnya berkaitan dengan pembentukan watak, keterampilan serta kreativitas, berakhlak dan demokratis yang tiada lain adalah soft-skills.
Namun pada kenyataannya, pendidikan di Indonesia masih sepi dengan pembangunan karakter siswa oleh karena beberapa penyebab penting yang harus kita renungkan bersama. Di antara penyebab kemerosotan karakter bangsa indonesia adalah sebagai berikut;
- Sistem pendidikan yang kurang mendukung dan menekankan pembentukan karakter, tetapi lebih menekankan pengembangan intelektual, misalnya sistem evaluasi pendidikan menekankan aspek kognitif/akademik, seperti Ujian Nasional (UN). Akh. Muzakki, dalam tulisannya, mengungkap cerita seorang guru yang tertekan akibat UN yang telah berubah wajah menjadi rezim penumpul nurani dan moral kemanusiaan.
- Lingkungan yang kurang mendukung pembangunan karakter yang baik.
Dari kebiasaan buruk tersebut dikategorikan dalam 4 kebiasaan secara umum;
- Kebiasaan-kebiasaan memperlakukan diri sendiri; meremehkan waktu, bangun kesiangan, terlambat masuk kantor, tidak disiplin, suka menunda, melanggar janji, menyontek, ngrasani, kebiasaan meminta, melayani stres, menganggap berat setiap masalah, pesimis terhadap diri sendiri, terbiasa mengeluh, merasa hebat, meremehkan orang lain, tidak sarapan, tidak terbiasa antri, banyak tidur, banyak nonton tv, terlena dengan kenyamanan, dan takut berubah.
- Kebiasaan-kebiasaan memperlakukan lingkungan; merokok di sembarang tempat, membuang sampah di sembarang tempat, corat-coret/vandalism, kendaraan kita mengotori udara, jalan bertabur iklan, konsumsi plastik berlebihan, tidak terbiasa mengindahkan aturan pakai, abai dengan pohon, dan menganggap remeh daur ulang.
- Kebiasaan-kebiasaan yang merugikan ekonomi; konsumtif, pamer, silau dengan kepemilikan orang lain, boros listrik, nyandu ngegame, tidak menyusun rencana-rencana kehidupan, tidak bisa berpikir kreatif, shopaholic (gemar berbelanja), dan mengabaikan peluang.
- Kebiasaan-kebiasaan dalam bersosial; tak mau membaca, jarang mendengarkan pendapat orang lain, nepotisme, suap-menyuap atau pratik korup, politik balik modal, canggung dengan perbedaan, baragama secara sempit, lupa sejarah, demo pesanan/bayaran, tawuran, tidak belajar dari pengalaman, birokratif, meniru, provokatif dan mudah terprovokasi, tidak berani berkata “tidak”, berambisi menguasai, dan mengesampingkan tradisi adat.
- Kekerasan di kalangan remaja meningkat,
- Sering melontarkan bahasa dan kata-kata yang buruk,
- Pengaruh peer-group (kelompok sesama) yang kuat dalam tindak kekerasan,
- Meningkatnya perilaku yang bisa membinasakan diri, seperti penggunaan nark*ba, alk*hol dan s*ks bebas.
- Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk,
- Menurunnya etos kerja,
- Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru,
- Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara,
- Membudayanya ketidakjujuran, dan
- Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia dengan pendidikan akhlak sebagai trade mark di satu sisi, dan menjamurnya tingkat kenakalan perilaku amoral remaja di sisi lain menjadi bukti kuat bahwa pendidikan akhlak dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam belum optimal, atau berdasar analisis terdahulu, boleh jadi pendidikan akhlak ini sebenarnya juga terabaikan dari dunia pendidikan Islam.
Mulai maraknya praktik lunturnya nilai-nilai susila dan moralitas cara mengatasinya, menurut Muhammad Nuh, adalah keharusan dunia pendidikan untuk melakukan revitalisasi pendidikan karakter, mulai dari tingkat dasar (SD-SLTA) hingga universitas/perguruan tinggi (PT).
Sebagai aspek terpenting dalam pembentukan karakter, pendidikan harus mampu mendorong anak didik melakukan proses pendakian terjal (the ascent of man). Itu karena dalam diri siswa terdapat dua dorongan esensial, yaitu dorongan mempertahankan diri dalam lingkungan eksternal yang ditandai dengan perubahan cepat, serta dorongan mengembangkan diri atau dorongan untuk belajar terus guna mencapai cita-cita tertentu.
Ketika anak didik telah mampu menyeimbangkan dua dorongan esensial itu, maka ia akan menjadi pribadi dengan karakter yang matang. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.
Demikianlah artikel yang berjudul tentang Fenomena Kemerosotan Karakter Bangsa Indonesia. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Terimakasih Sudah Meluangkan Waktu Berkunjung Di Blog Ini 😁
EmoticonEmoticon