6 Pandangan Dalam Filsafat

Tags

Beberapa Pandangan Dalam Filsafat

Di pokok bahasan terdahulu, Anda telah mendapat penjelasan bagaimana pemikiran dan pandangan para ahli filsafat Yunani. Dalam perkembangannya kemudian timbul pandangan-pandangan atau aliran-aliran yang menjadi dasar atau landasan untuk melakukan suatu tindakan atau suatu sikap hidup seseorang. Anda akan diajak untuk mempelajari tentang beberapa pandangan dalam filsafat. Hal ini amat penting untuk membantu memperkuat wawasan Anda mengenai filsafat ilmu.


6 Pandangan Dalam Filsafat
Perlu Anda sadari bahwa dalam mengkaji dan mengembangkan ilmu, termasuk melaksanakan praktik keguruan dan pendidikan, aliran-aliran atau pandangan-pandangan dalam filsafat memberikan landasan untuk bersikap dan bertindak profesional. Oleh karena itu, Anda diharapkan mempelajari secara seksama 6 pandangan filsafat seperti berikut ini.

1. ldealisme

Istilah idealisme yang menunjukkan suatu pandangan dalam filsafat belum lama dipergunakan orang. Namun, pemikiran tentang ide atau idea telah dikemukakan oleh Plato sekitar 2400 tahun yang lalu. Anda tentu masih ingat bahwa menurut Plato realitas yang fundamental ialah ide atau idea, sedangkan realitas yang tampak oleh indra manusia adalah bayangan dari ide atau idea tersebut. Ini berarti bahwa di belakang alam empiris atau alam fenomena yang kita hayati terdapat alam ideal atau alam esensi. Bagaimana implikasi dan pandangan ldealisme ini? 

Bagi kelompok idealis alam ini ada tujuannya yang bersifat spiritual. Hukum-hukum alam dianggap sesuai dengan kebutuhan watak intelektual dan moral manusia. Mereka juga berpendapat bahwa terdapat suatu harmoni yang mendasar antara manusia dan alam Manusia memang merupakan bagian dari proses alam, tetapi ia juga bersifat spiritual karena manusia memiliki akal, jiwa, budi, dan nurani.  

Kelompok yang mengikuti pandangan ini cenderung menghormati kebudayaan dan tradisi, sebab mereka mempunyai pandangan bahwa nilainilai kehidupan itu memiliki tingkat yang lebih tinggi dari sekadar nilai kelompok individu. Ini menunjukkan bahwa kekuatan idealisme terletak pada segi mental dan spiritual kehidupan. 

2. Humanisme

Sejak zaman kuno hingga pertengahan abad ke-4, pendidikan di Yunani dan Romawi, mempunyai tujuan yang jelas yakni membentuk manusia menjadi warga negara yang baik dan berguna bagi negara dan bangsa. Mulai abad ke-5 hingga abad ke-14, yang dalam sejarah Eropa; disebut sebagai abad pertengahan, tujuan pendidikan dimaksudkan untuk mencapai kebahagiaan hidup abadi dan mengatasi kebutuhan duniawi. 

Perlu Anda ketahui bahwa dalam abad kegelapan yaitu dari abad ke-5 sampai dengan abad ke-10, justru di negara-negara timur mulai timbul perkembangan pesat dalam ilmu kealamaan. Sejak abad ke-15 yang disebut dengan masa kebangkitan kembali atau renaissance yang berkembang di Italia, timbul pandangan humanisme yang didukung oleh berbagai penemuan, seperti mesin cetak serta kesuksesan misi pelayaran Columbus menginjakkan kakinya di benua Amerika dan  dan misi pelayaran Vasco de Gama sampai ke India. 

Humanisme memiliki dua arah, yakni humanisme individu dan humanisme social. Humanisme individu mengutamakan kemerdekaan berpikir, mengemukakan pendapat, dan berbagai aktivitas yang kreatif. Kemampuan ini disalurkan melalui kesenian, kesusastraan musik, teknologi, dan penguasaan tentang ilmu kealaman. Humanisme sosial mengutamakan pendidikan bagi masyarakat keseluruhan untuk kesejahteraan sosial dan perbaikan hubungan antar manusia. 

3. Rasionalisme

Para penganut rasionalisme berpandangan bahwa satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal) seseorang. Perkembangan pengetahuan mulai pesat pada abad ke-18. Orang yang dianggap sebagai bapak rasionalisme adalah Rene Descartes (1596-1650) yang juga dinyatakan sebagai bapak filsafat modern. 

Semboyannya yang terkenal adalah cogito ergo sum (saya berpikir, jadi saya ada). Tokoh-tokoh lainnya adalah John Locke (1632-1704) Jean Jecques Rousseau (1712-1778) dan Johann Bernhard  Basedow (1724-1790). John Locke terkenal sebagai tokoh filsafat dan pendidik dengan pandangannya tentang tabula rasa dalam arti bahwa setiap insan diciptakan sama, sebagai kertas kosong. 


Dengan demikian, melatih atau memberikan pendidikan untuk pandai menalar merupakan tugas utama pendidikan formal. Rousseau seorang tokoh pendidikan yang berpandangan bahwa seorang anak harus dididik sesuai dengan kemampuannya atau kesiapannya menerima pendidikan. Jadi, anak harus dipandang sesuai dengan alamnya dan jangan dipandang dari sudut orang dewasa saja.  

Basedow berpandangan bahwa pendidikan harus membentuk kebijaksanaan, kesusilaan dan kebahagiaan. Pada tahun 1774 ia mendirikan sekolah Philantropirum dengan mata pelajaran bahasa Perancis, Latin, Yunani, ilmu pasti, ilmu kealaman (ilmu bumi, ilmu hayat, dan ilmu alam) musik, menggambar, dan pendidikan jasmani. 

4. Empirisme

Asal kata empirisme adalah empira yang berarti kepercayaan terhadap pengalaman. Bahan yang diperoleh dari pengalaman diolah oleh akal, karena pengalamanlah yang memberikan kepastian yang diambil dari dunia fakta. Empirisme berpandangan bahwa pernyataan yang dapat dibuktikan melalui pengalaman adalah tidak berarti atau tanpa arti.

Ilmu harus dapat melalui pengalaman. Dengan demikian, kebenaran yang diperoleh bersifat  a posteriori yang berarti setelah pengalaman  post to experience. Francis Bacon (1561-1626) telah meletakkan dasar-dasar empirisme dan menyarankan agar penemuan-penemuan dilakukan dengan menggunakan metode induksi.

Menurutnya ilmu akan dapat berkembang melalui pengamatan dalam eksperimen serta menyusun fakta-fakta sebagai hasil eksperimen. Selanjutnya, di bawah Thomas Hobbes (1588-1679) serta John Locke dan lain-lain, empirisme berkembang. Pandangan Thomas Hobbes sangat mekanistik.

Oleh karena merupakan bagian dari dunia, apa yang terjadi pada manusia atau yang dialaminya dapat diterangkan secara mekanik. Hal ini menyebabkan Thomas Hobbes dipandang sebagai penganjur materialisme. Sesuai dengan kodratnya, manusia berkeinginan mempertahankan kebebasan dan menguasai orang lain. Hal ini menyebabkan adanya ungkapan homo homini lopus yang berarti bahwa manusia adalah serigala bagai manusia lain. John Locke (1632-1704) berpandangan bahwa akal tidak akan melahirkan pengetahuan dengan sendirinya.

Pengalamanlah yang merupakan sumber pengetahuan. Gagasan atau ide yang timbul dari pengalaman lahirlah (sensasi) dan pengalaman batin (refleksi) merupakan sumber ide (gagasan) tunggal. Ide tunggal ini bergabung menjadi   ide-ide majemuk sehingga menimbulkan pengetahuan manusia yang beraneka ragam.

5. Kritisisme

Filsafat pada zaman pencerahan atau pada abad ke-18 disempurnakan oleh Emmanuel Kant (1724-1804). Ia menjembatani kedua pandangan, yaitu rasionalisme dan empirisme dan disebut kritisisme. Empirisme menghasilkan keputusan-keputusan yang bersifat sintetis yang tidak bersifat mutlak, sedangkan rasionalisme memberikan keputusan yang  bersifat analitis. Berpikir merupakan proses penyusunan keputusan yang terdiri dari subjek dan predikat.

Sebagai contoh, pernyataan anak itu cantik merupakan penyataan sintetis yang diperoleh secara a posteriori karena hubungan antara keduanya dilaksanakan berdasarkan pengalaman indrawi. Tidak semua anak adalah cantik karena predikat cantik dinyatakan setelah diadakan penelitian bahwa anak tersebut memang betul cantik. Sebaliknya, pernyataan lingkaran itu bulat merupakan pernyataan analitis yang diperoleh secara apriori. Dalam hal ini, predikat bulat tidak menambah sesuatu yang baru pada lingkaran karena semua lingkaran adalah bulat.

Menurut Kant, baik empirisme maupun rasionalisme, masing-masing kurang memadai karena masih ada pernyataan yang bersifat sintetis-analitis, misalnya semua kejadian ada sebabnya.

6. Konstruktivisme

Dewasa ini konstruktivisme dianggap merupakan pandangan baru dalam pendidikan meskipun sebenarnya konstruktivisme merupakan pandangan dalam filsafat. Pandangan ini dikemukakan oleh Giambattista Vico pada tahun 1710 yang intinya adalah bahwa pengetahuan seseorang itu merupakan hasil konstruksi individu, melalui interaksinya dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungannya. Jean Piaget, antara lain mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang; baik melalui indra maupun melalui komunikasi.

Pengetahuan dibangun secara aktif oleh individu sendiri. Tokoh lain, yakni E. Von  Galsersfeld dari University of Massachusetts mengemukakan bahwa pengetahuan seseorang dibentuk oleh individu tersebut sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. The Liang Gie (1987) mengemukakan bahwa pengetahuan adalah keseluruhan keterangan dan ide yang terkandung dalam pernyataan-pernyataan yang dibuat mengenai suatu gejala atau peristiwa. 

Apabila kita telaah pendapat para ahli filsafat sebelumnya di suatu pihak dengan Piaget, Von Glasersfeld dan para konstruktivis, di pihak lain ternyata bahwa terdapat perbedaan pandangan yang mendasar tentang pengetahuan.

Dalam pengembangan konstruktivisme dikenal konstruktivisme kognitif atau konstruktivisme personal, konstruktivisme sosial, konstruktivisme kritis. Konstruktivisme kognitif dikembangkan oleh Piaget dan pandangannya adalah bahwa seorang anak membangun pengetahuan melalui berbagai jalur, yakni membaca, mendengarkan, bertanya, menelusuri, dan melakukan eksperimen terhadap lingkungannya. 

Dengan adanya tahap-tahap perkembangan kognitif, yaitu sensori motor, pra-operasi, operasi konkret dan formal, seseorang dapat menalar apa yang dialaminya melalui mekanisme asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrium. Konstruktivisme sosial dikembangkan oleh Vigotsky yang mengatakan, antara lain bahwa belajar dilakukan dalam interaksinya dengan lingkungan sosial ataupun fisik seseorang.

Penemuan (discovery) dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang. Pandangan ini kemudian dikembangkan oleh  para ahli menjadi konstruktivisme kritis dalam pembelajaran degan merangsang peserta didik menggunakan teknik-teknik yang kritis untuk mengaplikasikan konsepkonsep yang bermakna bagi dirinya.

Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam menghadapi persaingan dunia, di samping pemahaman ilmu dalam bidangbidang tertentu, perlu dilatihkan kemampuan penalaran, berpikir kritis, mengidentifikasi masalah, dan menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, konstruktivisme kognitif maupun konstruktivisme sosial, yang keduanya penting, dapat digunakan sebagai landasan berpikir dengan menggunakan teknik-teknik yang kritis.

Sesuai dengan pendapat Ausubel (1968), pengalaman penulis dalam belajar sains pengalaman pribadi sebagai pengajar, menunjukkan bahwa apa yang dipelajari akan bermakna bagi individu apabila materi subjek yang dikaji dimulai dari apa yang telah diketahui peserta didik sebelumnya.

Di samping diperoleh konsep yang bermakna, peserta dapat mentransfer hasil belajarnya ke dalam konteks sosial budayanya. Menurut konstruktivisme, fungsi guru berubah menjadi fasilitator yang membuat situasi kondusif agar terjadi hasil belajar dan transfer belajar yang optimal.

Artikel Terkait

Terimakasih Sudah Meluangkan Waktu Berkunjung Di Blog Ini 😁


EmoticonEmoticon