TUGAS KELOMPOK
FASISME
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Intelektual
Dosen Pengampu Dra. Sumiyatun, M.Pd.
Disusun Oleh:
Kelompok 10
Hendri Setiawan 13220005
Wahyu Tri Widiantoro 13220032
Leonardus Bagus Setiadi 13220035
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas terselesaikan nya makalah dengan judul “fasisme”, dan tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada mereka yang membantu dalam proses pembuatan makalah ini dan juga kepada sumber–sumber yang telah membantu saya dalam penyusunan isi makalah ini.
Makalah ini saya buat untuk menyelesaikan tugas yang telah diberikan oleh dosen saya dalam mata kuliah Sejarah intelektual dan untuk menyempurnakan nilai saya dalam menyelesaikan mata kuliah ini.
Saya berharap makalah yang telah saya selesaikan ini dapat bermanfaat bagi orang–orang yang telah membacanya, sehingga bagi setiap orang yang membacanya dapat menambah pengetahuan tentang sejarah intelektual.
Dari penyusunan makalah ini, saya mengetahui bahwa makalah ini masih belum sempurna dan masih terdapat kekurangan, saya berharap bagi setiap pembaca dapat membantu saya dalam mengevaluasi makalah ini.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Metro, ..............
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN MAKALAH
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan Makala
BAB II PEMBAHASAN
A. Hakekat Fasisme
B. Perkembangan Fasisme
C. Akar Filsafat dan Doktrin Fasisme
D. Perkembangan Fasisme di Indonesia
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kondisi penting lainnya dalam
pertumbuhan negara fasis adalah perkembangan industrialisasi. Munculnya negara
industri, memunculkan ketegangan sosial dan ekonomi. Jika liberalisme adalah
penyelesaian ketegangan dengan jalan damai yang mengakomodasi kepentingan yang
ada, maka fasisme mengingkari perbedaan kepentingan secara paksaan. Fasisme
mendapat dukungan pembiayaan dari industriawan dan tuan tanah, karena kedua
kelompok ini mengharapkan lenyapnya gerakan serikat buruh bebas, yang
dianggapnya menghambat kemajuan proses produksi dalam industri. Sumber dukungan
lain bagi rezim fasis adalah kelas menengah, terutama pegawai negeri. Mereka
melihat fasisme adalah sebuah sarana untuk mempertahankan prestise yang ada
sekaligus perlindungan politik. Fasisme juga memerlukan dukungan dari kaum
militer, sebagaimana fasisme Jerman, Italia dan Jepang, sebagai jalan menuju
militerisasi rakyat.
Meskipun fasisme bukan merupakan
akibat langsung dari depresi ekonomi, sebagaimana teori marxis, tetapi jelas
kaum fasis memanfaatkan hal itu. Banyaknya angka pengangguran akibat depresi,
melahirkan kelompok yang secara psikologis menganggap dirinya tidak berguna dan
diabaikan. Saat hal ini terjadi, maka fasisme bekerja dengan memulihkan harga diri
mereka, dengan menunjukkan bahwa mereka adalah ras unggul sehingga mereka
merasa dimiliki. Dengan modal inilah, maka fasisme juga memperoleh dukungan
dari rakyat lapisan bawah.
Dengan demikian, fasisme bekerja
pada setiap lapisan masyarakat. Fasisme memanfaatkan secara psikologis
kesamaan-kesamaan pokok yang ada seperti: frustasi, kemarahan dan perasaan tak
aman. Tak aneh, jika dalam sejarahnya rezim fasis senantiasa mendapatkan
dukungan masyarakat. Terutama hal ini jelas terjadi di Jerman.
B. Rumusan Masalah
- Apa hakekat fasisme ?
- Bagaimanakah perkembangan fasisme ?
- Bagaimanakah akar filsafat dan doktrin fasisme ?
- Bagaimanakah perkembangan fasisme di Indonesia?
C. Tujuan Makalah
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
- Untuk mengetahui hakekat dari fasisme.
- Untuk memahami tentang perkembangan fasisme.
- Untuk memahami filsafat dan doktrin fasisme.
- Untuk memahami perkembangan fasisme di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Hakekat Fasisme
Istilah “Fasisme” pertama kali digunakan di Italia oleh pemerintah yang
berkuasa tahun 1922-1924 pimpinan Benito Mussolini. Dan gambar tangkai-tangkai
yang diikatkan pada kapak menjadi lambang Partai Fasis pertama. Setelah Italia, pemerintahan Fasis kemudian berkuasa
di Jerman dari 1933 hingga 1945 dan di Spanyol dari 1939 hingga 1975. Setelah
Perang Dunia II rezim-rezim diktatoris yang muncul di Amerika Selatan dan
negara-negara belum berkembang lain umumnya digambarkan sebagai Fasis.
Fasisme merupakan pengorganisasian
pemerintah dan masyarakat secara totaliter oleh kediktatoran partai tunggal
yang sangat Nasionalis, Rasialis, Militeris dan Imperalis. Fasisme adalah
sebuah gerakan politik penindasan yang pertama kali berkembang di Italia
setelah tahun 1919 dan kemudian di berbagai Negara Eropa, sebagai reaksi atas
perubahan sosial politik akibat Perang Dunia I. Nama fasisme berasal dari kata
latin “Fasces” artinya kumpulan
tangkai yang diikatkan kepada sebuah kapak, melambangkan pemerintahan Romawi
Kuno.
Fasisme sesungguhnya merupakan
ideologi yang di bangun menurut hukum rimba, Fasisme juga bertujuan membuat
individu dan masyarakat berfikir dan bertindak seragam, untuk mencapai tujuan
ini fasisme menggunakan kekuatan dan kekerasan bersama semua metode propaganda
bahkan melakukan genocide (pemusnahan secara teratur terhadap suatu golongan
atau bangsa).Hal tersebut dikarenakan menurut ideologi fasis, Negara bukan
ciptaan rakyat merupakan ciptaan orang kuat. Bila orang kuat sudah membentuk
organisasi Negara, maka negara wajim menggembleng atau memaksakan dan mengisi
jiwa rakyat. Fasisme sebagai ideologi berkembang pada abad ke-20 ia menyebar
dengan pesat di seluruh dunia pada perang dunia. Ideologi Fasisme memiliki
beberapa sifat yaitu:
- Rasisme, diartikan sebagai paham yang menerapkan penggolongan atau pembedaan ciri-ciri fisik (seperti warna kulit) dalam masyarakat. Rasisme juga bisa diartikan sebagai paham diskriminasi suku, agama, ras, golongan ataupun ciri-ciri fisik umum untuk tujuan tertentu.
- Militerisme adalah suatu pemerintahan yang didasarkan pada jaminan keamanannya terletak pada kekuatan militernya dan mengklaim bahwa perkembangan dan pemeliharaan militernya untuk menjamin kemampuan itu adalah tujuan terpenting dari masyarakat.Sistem ini memberikan kedudukan yang lebih utama kepada pertimbangan-pertimbangan militer dalam kebijakannya daripada kekuatan-kekuatan politik lainnya. Mereka yang terlibat dalam dinas militer pun mendapatkan perlakuan-perlakuan istimewa.
- Ultra Nasionalis, ialah sikap membanggakan suatu negara secara berlebihan sehingga sangat merendahkan negara yang lainnya. Sehingga mudah sekali memancing pertengkaran atau peperangan.
- Imperialisme ialah politik untuk menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri yang dibentuk sebagai imperiumnya (hak memerintah). "Menguasai" disini tidak perlu berarti merebut dengan kekuatan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur, agama dan ideologi, asal saja dengan paksaan.
Empat sifat tersebut mengakibatkan
Ideologi Fasisme ini dapat manghambat multikulturalisme yaitu pandangan
seseorang terhadap ragam kehidupan seperti kubudayaan, agama, ras. Evriza
(2008: 106) mengatakan bahwa Fasisme merupakan gaya politik, daripada ideologi
sebagai seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama. Paham ini merupakan tipe
nasionalisme yang romantis dengan segala kemegahan upacara dan simbol yang
mendukungnya untuk mencapai kebesaran negara.
B. Perkembangan Fasisme
Fasisme (fascism) merupakan
pengorganisasian pemerintah dan masyarakat secara totoaliter oleh kediktatoran
partai tunggal yang sangat nasionalis rasialis, militeristis dan imperialis.
Italia merupakan negara pertama yang menjadi Fasis (1922) menyusul Jerman tahun
1933 dan kemudian Spanyol melalui Perang Saudara yang pecah tahun 1936. Di Asia
Jepang berubah menjadi Fasis dalam tahun 1930-an melalui perubahan secara
perlahan ke arah lembaga-lembaga yang totaliter setelah menyimpang dari budaya
aslinya.
Pada umumnya Fasisme muncul dan
berkembang di negara-negara yang relatif lebih makmur dan secara teknologi
lebih maju (Jerman di Eropa dan Jepang di Asia). Untuk pertumbuhan Fasisme
adalah pencapaian tingkat atau tahap tertentu dalam perkembangan industri.
Setidak-tidaknya ada dua titik temu antara Fasisme dan tingkat industrialisasi
yang relatif maju. Pertama, aksi diperolehnya. Aksi terror dan propaganda
memerlukan banyak pengaturan secara teknologis dan teknologi. Kedua, sebagai
suatu sistem mobolisasi permanen untuk keperluan perang, Fasisme tidak mungkin
berhasil tanpa keahlian dan sumber-sumber daya industri yang maju.
Dari segi latar belakang sosial,
Fasisme menarik minat dua kelompok secara khusus. Pertama, sistem itu menarik
sekelompok kecil industriawan dan tuan tanah yang bersedia membiayai
gerakan-gerakan Fasis dengan harapan bahwa sistem itu dapat melenyapkan
serikat-serikat buruh bebas. Di negara-negara yang memiliki Tradisi Liberal dan
demokrasi yang kuat, misalnya kaum industriawan memiliki keperayaan yang tidak
lebih ataupun kurang dari kelompok lainnya pada proses Demokrasi. Tetapi jika
demokrasi goyah, seperti yang terjadi di Jerman, Italia dan Jepang hanya di
butuhkan segelintir industriawan kaya dan tuan tanah saja untuk membiayai
gerakan-gerakan Fasis.
Sumber dukungan utama Fasisme datang
dari kelas menengah bawah (lower-middle-claas),
terutama dikalangan pegawai negeri. Mereka melihat Fasisme sebagai penyelamat
bagi kedudukannya dan prestisenya. Para pegawai negeri, merasa cemburu dengan
perusahaan-perusahaan besar meskipun mereka tergerak untuk mencapai kedudukan yang tinggi dalam
perusahaan-perusahaan itu. Namun mereka juga takut ika dimasukkan kedalam
kelompok dunia Ploretar. Sumber
dukungan dari kaum buruh juga sangat berpengaruh bagi Fasis, kaum buruh yang terorganisir
sering menyokongkan ketidakpastian dan proses demorialisasi dikalangan pegawai
negeri tanpa menyadari manfaatnya.
Karena alasan psikologis para pegwai
kantor biasa enggan untuk menggabungkan diri dalam berbagai serikat buruh.
Akibatnya pendapatan para buruh biasa terutama yang terorganisir dalam
organisasi buruh cenderung naik daripada penghasilan pegawai kantor. Karena
jurang perbedaan status ekonomi para buruh yang biasa dan pegawai kantor terus
melebar maka para pegawai kantor semakin takut akan kehilangan apa yang
dianggapnya sebagai status yang sah dalam masyarakat. Keadaan itu yang
mendorong mereka dan beralih pada Fasisme yang mengendalikan para serikat
buruh.
Kelompok sosial lain yang rentan
terhadap propaganda Fasisme adalah kelompok militer bahkan dalam Negara
Demokrasi yang sudah mapan personil militer professional cenderung untuk
meremehkan kedisiplinan dan persatuan. Jika Demokrasi melemah, maka
penyimpangan Demokrasi Militer akan menjadi bencana politik. Pada tahap awal
Nazisme di Jerman kelompok militernya secara terbuka mendukung Hitler.
Pemimpin-pemimpin puncak Jerman tahu bahwa sebagian pemimpin Nazi adalah jahat
dan penderita psikopat yang tidak bersalah. Walaupun demikian mereka tetap
mendukung gerakan Nazi sebagai suatu langkah menuju militerisasi rakyat Jerman.
Di Italia, pada tahap awal Fasisme
mendapat dukungan kuat dari angkatan bersenjata. Di Jepang Fasisme berkembang
atas dukungan yang aktif dari militer yang memiliki alasan untuk menjadi tiang
penyanggah utama dari rezim yang memiliki kepentingan ekspansi Imperialis. Di
Argenina pemerintahan yang semi konstitusional disingkirkan dalam suatu
pemberontakan oleh para perwira muda di bawah Pimpiman Peron. Yang memulai
fasisme dengan gayanya sendiri dan dari namanya sendiri yaitu Peronisme. Fasisme melintasi semua kelompok
sosial, para industriawan dan tuan tanah yang makmur, kelas menengah ke bawah
dan para guru biasa. Semuanya memiliki alasan tersendiri dalam mendukung
Fasisme.
Semakin banyak Kaum Nasionals dan
Chauvinis yang memperlihatkan bahwa mereka rentan. Terhadap janji-janji
penaklukan dan terciptanya kerajaan menyangkut program-program eksplesit
gerakan-gerakan Fasis harus membuat janji-janji yang berlawanan untuk memuaskan
seluruh pihak yang mengikutinya. kontradiksi-kontradiksi inilah yang menjadi
kelemahan Fasisme, akan tetapi mengenai latar belakang psikologis yang
emplisit, Fasisme mencari kelompok sosial yang memiliki kesamaan yaitu
frustasi, kemarahan dan rasa tidak aman.
Sikap-sikap psikologi ini dapat
diartikan sebagai sikap kebencian dan agresi melawan musuh dari dalam maupun
dari luar. Karena sikap-sikap sosial
dan psikologis ini bukan merupakan monopoli satu kelompok atau kelas sosial
saja maka Fasisme dapat menarik masa secara besar-besaran diberbagai negara ketika
Adolf Hitler menggabungkan diri dalam Partai Nazi tahun 1919 ia menjadi anggota
no.7 tetapi 14 tahun kemudian Nazisme manjadi gerakan masa yang sangat besar di
Negara Jerman.
Pada abad ke-20, fasisme muncul di
Italia dalam bentuk Benito Mussolini. Sementara itu di Jerman, juga muncul
sebuah paham yang masih bisa dihubungkan dengan fasisme, yaitu Nazisme pimpinan
Adolf Hitler. Nazisme berbeda dengan fasisme Italia karena yang ditekankan
tidak hanya nasionalisme saja, tetapi bahkan rasialisme dan rasisme yang sangat
sangat kuat. Saking kuatnya nasionalisme sampai mereka membantai bangsa-bangsa
lain yang dianggap lebih rendah.
Fasisme dikenal sebagai ideologi
yang lahir dan berkembang subur pada abad ke-20. Ia menyebar dengan pesat di
seluruh dunia pada permulaan Perang Dunia I, dengan berkuasanya rezim fasis di
Jerman dan Italia pada khususnya, tetapi juga di negara-negara seperti Yunani,
Spanyol, dan Jepang, di mana rakyat sangat menderita oleh cara-cara pemerintah
yang penuh kekerasan. Berhadapan dengan tekanan dan kekerasan ini, mereka hanya
dapat gemetar ketakutan. Diktator fasis dan pemerintahannya yang memimpin
sistem semacam itu di mana kekuatan yang brutal, agresi, pertumpahan darah, dan
kekerasan menjadi hukum mengirimkan gelombang teror ke seluruh rakyat melalui
polisi rahasia dan milisi fasis mereka, yang melumpuhkan rakyat dengan rasa
takut.
Lebih jauh lagi, pemerintahan fasis
diterapkan dalam hampir semua tingkatan kemasyarakatan, dari pendidikan hingga
budaya, agama hingga seni, struktur pemerintah hingga sistem militer, dan dari
organisasi politik hingga kehidupan pribadi rakyatnya. Pada akhirnya, Perang
Dunia II, yang dimulai oleh kaum fasis, merupakan salah satu malapetaka
terbesar dalam sejarah umat manusia, yang merenggut nyawa 55 juta orang.
Ebenstein (2006:154) mengatakan
fasis mungkin tidak lagi merupakan sebagai ancaman bagi negara-negara yang
menganut sistem demokrasi yang terkemuka. Tetapi tidak menutup kemungkinan
gejala-gejala untuk megambil oper pemerintah jika dilihat-gejala-gejala masih
ada. Gejala-gejala ini bisa dilihat adanya gerakan-gerakan yang terjadi
misalnya di Amerika serikat yang anti-intelektual yang melemahkan proses-proses
rasionalitas.
Gejala lain adalah munculnya gejala
rasialisme dibebarapa negara, gejala lain adalah bermunculan
keresahan-keresahan sosial di tengah masyarakat yang muncul akibat ketidak
berhasilan sistem demokrasi, yang juga anti komunis. Alternatif praktis
bukanlah diantara 100 persen baik dan 100 persen jahat, tetapi selalu diantara
campuran-campuran kedua keadan itu dengan porsi yang berbeda. Negara-negara
yang pernah menganut Ideologi Fasisme adalah Amerika Serikat, Inggris,
Perancis, Italia dan Jerman.
Perang satu-satunya yang akan
membawa seluruh energi manusia ke tingkat tertinggi dan membubuhkan cap
kebangsawanan kepada orang-orang yang berani menghadapinya. Kaum Fasis memahami
hidup sebagai tugas, perjuangan dan penaklukan, tetapi di atas semua untuk
orang lain bersama dan mereka yang jauh, sejaman, dan mereka datang setelahnya. Ciri lain adalah bahwa Fasisme
merupakan Ideologi Nasionalistik dan Agresif yang didasarkan pada Rasisme.
Nasionalisme semacam ini sama sekali berbeda dari sekedar kecintaan pada
negara. Dalam Nasionalisme Agresif seseorang mempunyai cita-cita agar bangsanya
menguasai bangsa lain, menghinakan mereka, dan tidak menyesali timbulnya
penderitaan hebat rakyatnya sendiri. Selain itu, Nasionalisme Fasistik
menggunakan peperangan, pendudukan, pembantaian, dan pertumpahan darah sebagai
alat untuk mencapai tujuan-tujuan politis tersebut.
Dasar kebijakan sosial Fasisme
adalah pemaksaan gagasan dan keharusan rakyat untuk menerimanya. Fasisme
bertujuan membuat individu dan masyarakat berpikir dan bertindak seragam dengan
menggunakan kekuatan dan kekerasan bersama semua metode propaganda. Fasisme
menyatakan siapapun yang tidak mengikuti gagasan-gagasan sebagai musuh, bahkan
sampai melakukan genocide (pemusnahan
secara teratur terhadap suatu golongan atau bangsa), seperti dalam kasus Nazi
Jerman.
Penyelesaian yang di tempuh oleh
Dictator Fasisme adalah mengarahkan atau menyalurkan rasa permusuhan dari
rakyat untuk melawan musuh-musuh yang nyata maupun imajiner. Bagi Kaum Komunis
yang menjadi musuh adalah Kaum Borjuis, Pengikut Trotsky, Tito, atau
pengusaha-pengusaha yang ada di wall street.
Pada mulanya Hitler mulai memilih Bangsa Yahudi sebagai sasaran agresi Jerman
yang berakibat lenyapnya 6 juta orang Yahudi dalam kamar-kamar gas.
Kemudian musuh-musuh baru sebagai
pengganti Bangsa Yahudi, yaitu Inggris, Amerika Serikat, Churchill, Roseevelt,
Bholsevisme dan gereja. Ketika akhir riwayatnya Hitler dan pengikutnya
melampiaskan rasa dendamnya terhadap orang-orang Jerman dengan menolak untuk
menyerah melalui perundingan. Apabila mereka tunduk, rakyat Jerman harus
dihancurkan bersama mereka. Dalam Rezim Fasis baru yaitu Argentina di bawah
Peron yang menjadi sasaran utama aksi propaganda kebencian adalah Imperialisme
Amerika Serikat dan sistem keuangan internasional. Bagi mereka yang tidak mampu
memimpin dirinya sendiri, Fasisme menjanjikan penguasaan atas orang lain.
Apabila Fasisme tidak memberikan kemenangan-kemenangan yang dijanjikan maka
kekesalan rakyat akan dilampiaskan kepada pemimpin-pemimpinnya.
C. Akar
Filsafat dan Doktrin Fasisme
Akar filsafat Fasisme bisa dilacak
dalam pemikiran Plato, Aristoteles, Hegel, Rosenberg, Doriot, Farinasi,
Gobinau, Sorel, Darwin, Zietzche, Marinetti, Oswald Spengler, Chamberlain.
Fasisme memiliki akar-akar intelektual dan filosofis ratusan bahkan ribuan
tahun yang lalu. Dalam bentuk yang modern dan kontemporer dan dalam formatnya
yang par exellence terjadi ketika
Benito Mussolini menguasasi Italia (1922) Hitler dengan Nazinya mendominasi
jerman (1933) Franco berkuasa di Spanyol (1936) TennoHeika memerintah jepang
(1930-an) dan Amerika Latin dimasa kekuasan Juan Peron (1950-an). Suhelmi
(2004:334).
Ajaran-ajaran mereka perihal
fasisme. Hitler menulis Mein Kampft, sedangkan Mussolini menulis Doktrine of
Fascism. Ajaran fasis model Italia-lah yang kemudian menjadi pegangan kaum
fasis didunia, karena wawasannya yang bersifat moderat. Menurut Ebenstein,
unsur-unsur pokok fasisme terdiri dari tujuh unsur: Pertama, ketidak percayaan pada kemampuan nalar. Bagi fasisme,
keyakinan yang bersifat fanatik dan dogmatic adalah sesuatu yang sudah pasti
benar dan tidak boleh lagi didiskusikan. Terutama pemusnahan nalar digunakan
dalam rangka “tabu” terhadap masalah ras, kerajaan atau pemimpin.
Kedua, pengingkaran derajat kemanusiaan. Bagi fasisme
manusia tidaklah sama, justru pertidaksamaanlah yang mendorong munculnya idealisme
mereka. Bagi fasisme, pria melampaui wanita, militer melampaui sipil, anggota
partai melampaui bukan anggota partai, bangsa yang satu melampaui bangsa yang
lain dan yang kuat harus melampaui yang lemah. Jadi fasisme menolak konsep
perramaan tradisi yahudi-kristen (dan juga Islam) yang berdasarkan aspek
kemanusiaan, dan menggantikan dengan ideologi yang mengedepankan kekuatan.
Ketiga, kode prilaku yang didasarkan pada kekerasan dan
kebohongan. Dalam pandangan fasisme, negara adalah satu sehingga tidak dikenal
istilah “oposan”. Jika ada yang bertentangan dengan kehendak negara, maka
mereka adalah musuh yang harus dimusnahkan.
Dalam pendidikan mental, mereka mengenal adanya indoktrinasi pada kamp-kamp konsentrasi. Setiap orang akan dipaksa dengan jalan apapun untuk mengakui kebenaran doktrin pemerintah. Hitler konon pernah mengatakan, bahwa “kebenaran terletak pada perkataan yang berulang-ulang”. Jadi, bukan terletak pada nilai obyektif kebenarannya.
Dalam pendidikan mental, mereka mengenal adanya indoktrinasi pada kamp-kamp konsentrasi. Setiap orang akan dipaksa dengan jalan apapun untuk mengakui kebenaran doktrin pemerintah. Hitler konon pernah mengatakan, bahwa “kebenaran terletak pada perkataan yang berulang-ulang”. Jadi, bukan terletak pada nilai obyektif kebenarannya.
Keempat, pemerintahan oleh kelompok elit. Dalam prinsip
fasis, pemerintahan harus dipimpin oleh segelintir elit yang lebih tahu
keinginan seluruh anggota masyarakat. Jika ada pertentangan pendapat, maka yang
berlaku adalah keinginan si-elit. Kelima,
totaliterisme. Untuk mencapai tujuannya, fasisme bersifat total dalam
meminggirkan sesuatu yang dianggap “kaum pinggiran”.
Hal inilah yang dialami kaum wanita, dimana mereka hanya ditempatkan pada wilayah 3 K yaitu: kinder (anak-anak), kuche (dapur) dan kirche (gereja). Bagi anggota masyarakat, kaum fasis menerapkan pola pengawasan yang sangat ketat. Sedangkan bagi kaum penentang, maka totaliterisme dimunculkan dengan aksi kekerasan seperti pembunuhan dan penganiayaan.
Hal inilah yang dialami kaum wanita, dimana mereka hanya ditempatkan pada wilayah 3 K yaitu: kinder (anak-anak), kuche (dapur) dan kirche (gereja). Bagi anggota masyarakat, kaum fasis menerapkan pola pengawasan yang sangat ketat. Sedangkan bagi kaum penentang, maka totaliterisme dimunculkan dengan aksi kekerasan seperti pembunuhan dan penganiayaan.
Keenam, Rasialisme dan imperialisme. Menurut doktrin fasis,
dalam suatu negara kaum elit lebih unggul dari dukungan massa dan karenanya
dapat memaksakan kekerasan kepada rakyatnya. Dalam pergaulan antar negara maka
mereka melihat bahwa bangsa elit, yaitu mereka lebih berhak memerintah atas
bangsa lainnya. Fasisme juga merambah jalur keabsahan secara rasialis, bahwa
ras mereka lebih unggul dari pada lainnya, sehingga yang lain harus tunduk atau
dikuasai. Dengan demikian hal ini memunculkan semangat imperialisme.
Terakhir atau ketujuh, fasisime memiliki unsur menentang hukum dan ketertiban
internasional. Konsensus internasional adalah menciptakan pola hubungan antar
negara yang sejajar dan cinta damai. Sedangkan fasis dengan jelas menolak
adanya persamaan tersebut. Dengan demikian fasisme mengangkat perang sebagai
derajat tertinggi bagi peradaban manusia. Sehingga dengan kata lain bertindak
menentang hukum dan ketertiban internasional.
D. Perkembangan Fasisme di Indonesia
Pada tahun 1965, kekuatan militer
melakukan kudeta dan mendirikan kediktatoran militer. Walau banyak kemiripannya
dengan rejim Nazi, dengan pembantaian yang tidak kalah kejamnya dengan kamp
konsentrasi Nazi, namun rejim kediktatoran militer Orde Baru bukanlah rejim
fasis. Ada perbedaan mendasar terkait dengan keterlibatan massa fanatik borjuis
kecil yang menjadi fitur utama dari fasisme Italia dan Jerman.
Akan tetapi ada juga kesamaan-kesamaan yang fundamental terkait dengan proses perkembangannya: krisis akut tak-terpecahkan di dalam masyarakat Indonesia yang secara efektif telah berlangsung sejak 1945; kekuatan buruh dan tani yang terus meningkat dan memasuki periode revolusioner, dengan sejumlah kesempatan untuk merebut kekuasaan; ketidakmampuan kepemimpinan buruh, dalam hal ini PKI, untuk memberikan jalan keluar dari kebuntuan kapitalisme; kebangkrutan borjuasi nasional, yang terlalu lemah untuk membangun sebuah parlemen borjuasi yang stabil dan mengendalikan situasi.
Akan tetapi ada juga kesamaan-kesamaan yang fundamental terkait dengan proses perkembangannya: krisis akut tak-terpecahkan di dalam masyarakat Indonesia yang secara efektif telah berlangsung sejak 1945; kekuatan buruh dan tani yang terus meningkat dan memasuki periode revolusioner, dengan sejumlah kesempatan untuk merebut kekuasaan; ketidakmampuan kepemimpinan buruh, dalam hal ini PKI, untuk memberikan jalan keluar dari kebuntuan kapitalisme; kebangkrutan borjuasi nasional, yang terlalu lemah untuk membangun sebuah parlemen borjuasi yang stabil dan mengendalikan situasi.
Seperti yang telah kita paparkan,
kaum kapitalis biasanya lebih memilih berkuasa dengan metode-metode parlementer
borjuis. Metode ini lebih murah dan efektif. Akan tetapi di negeri-negeri Dunia
Ketiga yang kontradiksinya sangat akut dan sistem parlementer borjuisnya lemah
(yang merefleksikan lemahnya kaum borjuasi itu sendiri), sering kali mereka
tidak punya privilese ini. Dalam banyak situasi, mereka terpaksa menggunakan
aparatus pemaksa Negara, secara parsial maupun terbuka lewat kudeta militer.
Dalam konteks Indonesia, militer di
bawah Soeharto terdorong melakukan kudeta setelah ada periode panjang
revolusioner di Indonesia di mana tidak ada satu pun kekuatan yang mampu
menyediakan jalan keluar. PKI menolak merebut kekuasaan dan mengekor pada
borjuasi nasional dengan dalih bahwa tahapan selanjutnya dari revolusi
Indonesia adalah revolusi borjuasi yang akan membawa kapitalisme yang mandiri,
dan baru setelah itu sosialisme di masa depan yang jauh.
Kaum borjuasi nasional sendiri terpecah-pecah. Di satu pihak adalah sayap kirinya yang personifikasinya adalah Soekarno, yang hanya bisa mendapatkan dukungan massa dengan retorika-retorika anti-imperialis dan populis, tapi tanpa bisa merealisasikan secara riil program-program anti-imperialis dan populisnya karena logika kapitalisme tidak memungkinkan realisasi penuhnya. Mereka, karena posisi kelasnya, terkutuk menjadi impoten. Sementara sayap kanan kaum borjuasi tidak punya basis dukungan sama sekali dari rakyat. Argumen pro-pasar dan pro-kapital mereka tidak menemukan gaungnya. Situasi revolusioner yang menggantung ini tidak bisa bertahan lama.
Masyarakat borjuasi tidak bisa menolerir sebuah situasi di mana jutaan rakyat pekerja terorganisir ke dalam organisasi-organisasi revolusioner, di mana angkatan bersenjatanya juga terbelah. Inilah kondisi-kondisi yang menyiapkan kudeta militer di Indonesia. Melihat borjuasi nasional tidak bisa menyelesaikan situasi yang ada, bergeraklah aparatus militer Negara untuk mengembalikan ketertiban dan kedamaian.
Kaum borjuasi nasional sendiri terpecah-pecah. Di satu pihak adalah sayap kirinya yang personifikasinya adalah Soekarno, yang hanya bisa mendapatkan dukungan massa dengan retorika-retorika anti-imperialis dan populis, tapi tanpa bisa merealisasikan secara riil program-program anti-imperialis dan populisnya karena logika kapitalisme tidak memungkinkan realisasi penuhnya. Mereka, karena posisi kelasnya, terkutuk menjadi impoten. Sementara sayap kanan kaum borjuasi tidak punya basis dukungan sama sekali dari rakyat. Argumen pro-pasar dan pro-kapital mereka tidak menemukan gaungnya. Situasi revolusioner yang menggantung ini tidak bisa bertahan lama.
Masyarakat borjuasi tidak bisa menolerir sebuah situasi di mana jutaan rakyat pekerja terorganisir ke dalam organisasi-organisasi revolusioner, di mana angkatan bersenjatanya juga terbelah. Inilah kondisi-kondisi yang menyiapkan kudeta militer di Indonesia. Melihat borjuasi nasional tidak bisa menyelesaikan situasi yang ada, bergeraklah aparatus militer Negara untuk mengembalikan ketertiban dan kedamaian.
Kebijakan kolaborasi kelas PKI
dengan borjuasi nasional yang katanya “progresif” tidak menyelamatkan mereka
dari kudeta militer, tetapi justru menyiapkan kondisi-kondisi untuk kehadiran
intervensi militer. Sejarah telah menunjukkan bahwa kebijakan kolaborasi kelas
tidak pernah menghentikan fasisme atau kudeta militer. Kebijakan Front Popular
di Spanyol yang diusung oleh Partai Komunis Spanyol yang Stalinis, dimana
diserukan agar buruh bersatu dengan kaum borjuasi nasional “progresif” untuk
melawan Franco, justru memperlemah perlawanan revolusioner terhadap Franco. Ini
harus dibayar mahal dengan kediktatoran fasisme Franco selama 36 tahun.
Di Chile, Allende percaya pada jalan reformisme dan parlementerisme untuk mencapai sosialisme. Ia percaya pada metode kolaborasi dan kompromi. Dalam ironi sejarah yang paling memilukan, Allende sendiri yang mengangkat Pinochet sebagai kepala Angkatan Darat 3 minggu sebelum kudeta, dan sampai menit terakhir, ketika tank-tank sudah di jalan-jalan kota Santiago, Allende masih meminta mencoba menghubungi Pinochet lewat telepon. Sejarah dipenuhi dengan contoh-contoh ini, tetapi sayangnya sejarah itu adalah seperti seorang guru yang tanpa murid.
Di Chile, Allende percaya pada jalan reformisme dan parlementerisme untuk mencapai sosialisme. Ia percaya pada metode kolaborasi dan kompromi. Dalam ironi sejarah yang paling memilukan, Allende sendiri yang mengangkat Pinochet sebagai kepala Angkatan Darat 3 minggu sebelum kudeta, dan sampai menit terakhir, ketika tank-tank sudah di jalan-jalan kota Santiago, Allende masih meminta mencoba menghubungi Pinochet lewat telepon. Sejarah dipenuhi dengan contoh-contoh ini, tetapi sayangnya sejarah itu adalah seperti seorang guru yang tanpa murid.
Munculnya Politik Fasisme di
Indonesia mulai sejak kemenangan Partai Nazi di Jerman yang memenangkan pemilu
1933. Dr. Notonind, bekas anggota PNI (lama) asal Pekalongan adalah tokoh teras
Partai Fasis Indonesia (PFI) yang berdiri tahun 1933. Ide dasar pendirian PFI
ini memang agak unik karena tidak di dasarkan kepentingan ideologi, melainkan
oleh cita-cita pembangunan kembali kerajaan-kerajaan Jawa seperti Majapahit dan
Mataram, Sriwijaya di Sumatera, dan kerajaan-kerajaan di Kalimantan.
Gema fasisme yang melanda dunia
menuai respon beragam dari kalangan pergerakan di Indonesia. Kelompok PNI Baru,
PKI dan Partindo adalah kelompok yang menentang gigih fasisme. Alasan dasarnya
karena fasisme adalah benteng terakhir dari kapitalisme untuk mempertahankan
diri dari krisis ekonomi dan politiik. Sedangkan di luar kedua kelompok ini,
Wilson menilai kaum pergerakan kebingungan dalam merespon fasisme. Kelompok
PSII dan Parindra misalnya, karena percaya ramalan politik Jayabaya menganggap
fasisme Jepang sebagai saudara tua yang akan membebaskan bumiputera dari
belenggu kolonialisme Belanda.
Istilah Indonesia Raya dan Indonesia
Mulia yang getol dikampanyekan oleh Parindra misalnya, mengingatkan kita pada
ide Jerman Raya milik kaum Nazi Jerman yang mengakibatkan pembantaian jutaan
orang Yahudi. Bahkan Agus Salim melihat potensi fasisme sebagai solusi mengusir
kolonial. Tren politik fasis rupanya bukan hanya melanda kaum Bumi Putera.
Kalangan Indo di Hindia-Belanda yang sedang dilanda krisis pertarungan politik
dengan kalangan pergerakan bumi putra dan tekanan fasis Jepang juga merasa
ingin cepat keluar dari krisis dengan harapan kadatangan dewa fasisme.
Di Solo misalnya, pada tahun 1933 pernah dibentuk organisasi Anti Inlander Clud untuk melindungi kepentingan kaum Indo. Sementara kaum kaum fasisme Jepang di Hindia-Belanda yang tergabung dalam NIFO nampak paling agresif bergerak melakukan rapat-rapat akbar (vergadering). Aksi agresif NIFO ini mendapat reaksi keras dari Pemerintah Hindia-Belanda.
Di Solo misalnya, pada tahun 1933 pernah dibentuk organisasi Anti Inlander Clud untuk melindungi kepentingan kaum Indo. Sementara kaum kaum fasisme Jepang di Hindia-Belanda yang tergabung dalam NIFO nampak paling agresif bergerak melakukan rapat-rapat akbar (vergadering). Aksi agresif NIFO ini mendapat reaksi keras dari Pemerintah Hindia-Belanda.
Fasisme di zaman sekarang tidak
sepopuler di waktu kelahirannya di Indonesia. Benar bahwa fasisme tinggal
catatan sejarah ini terbukti dengan tidak adanya organisasi atau negara
yang menganut fasisme lagi. Namun, sebagaimana kekhawatiran Mansour Fakih (Alm)
delapan tahun silam, krisis gawat yang terus melanda negeri ini tidak mustahil
menjadi bibit-bibit persemaian fasisme. Hal ini bisa dibuktikan oleh fakta
berbagai organisasi yang gemar mobilisasi massa, arak-arakan dan gemar
melakukan tindak kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Hal yang mengkhawatirkan,
gerakan itu muncul dalam praktek politik keagamaan simbol keagamaan digelar.
Teriakan jihad dikumandangkan. Agama yang selama ini dikenal sebagai piranti
kohesifitas budaya berubah menjadi alat propaganda khas fasisme.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah “Fasisme” pertama kali digunakan di Italia oleh pemerintah yang
berkuasa tahun 1922-1924 pimpinan Benito Mussolini. Nama fasisme berasal dari
kata latin “Fasces” artinya kumpulan
tangkai yang diikatkan kepada sebuah kapak, melambangkan pemerintahan Romawi
Kuno. Fasisme merupakan pengorganisasian pemerintah dan masyarakat secara
totaliter oleh kediktatoran partai tunggal yang sangat Nasionalis, Rasialis,
Militeris dan Imperalis.
Fasisme sesungguhnya merupakan
ideologi yang di bangun menurut hukum rimba, Fasisme juga bertujuan membuat
individu dan masyarakat berfikir dan bertindak seragam, untuk mencapai tujuan
ini fasisme menggunakan kekuatan dan kekerasan bersama semua metode propaganda
bahkan melakukan genocide (pemusnahan secara teratur terhadap suatu golongan
atau bangsa).
DAFTAR
RUJUKAN
Ebenstein William and Fogeiman Edwin. 1994. Isme-Isme Dewasa Ini penerjemah: Alex Jemadu. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Azhar, Muhammad. 1996. Filsafat politik. Yogyakarta: PT. Grafindo Persada
Demikianlah ulasan dari contoh makalah yang berjudul sejarah intelektual fasisme. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jangan lupa tinggalkan komentar kamu bila ada yang kurang jelas.
Salam Sukses!!!
Demikianlah ulasan dari contoh makalah yang berjudul sejarah intelektual fasisme. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jangan lupa tinggalkan komentar kamu bila ada yang kurang jelas.
Salam Sukses!!!
Terimakasih Sudah Meluangkan Waktu Berkunjung Di Blog Ini 😁
EmoticonEmoticon