TUGAS AKHIR SEMESTER
ETIKA KONSELING ONLINE
Untuk memenuhi tugas akhir ujian semeseter akhir
Mata Kuliah Pengembangan Profesi Konselor Dosen Pengampu Agus Wibowo, M.Pd.
Oleh :
Irvan hermawanto
12130005
PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO
2015
DAFTAR ISI
COVER
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Latar belakang
Rumusan masalah
Tujuan
PEMBAHASAN
PENUTUP
a. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konseling merupakan sarana bagi klien untuk membantu menyelesaikan memecahkan masalah serta mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Dalam perkembangannya konseling selalu menyelarasakan dengan perkembangan zaman terutama dengan perkembangan tekhnologi, dimana pada awalnya konseling hanya dilakukan dengan face to face antara konselor dengan klien namun pada saat ini konseling dapat dilaksanakan dan dilakukan melalui berbagai macam media yang memungkinkan untuk dilaksanakannya konseling jarak jauh.
Perkembangan yang pesat dan penggunaan internet untuk menghantarkan informasi dan komunikasi telah mengjjhasilkan bentuk-bentuk konseling baru, salah satunya adalah konseling jarak jauh yang dibantu teknologi, yang dapat diperbaharui dengan mudah dalam kaitannya dengan evolusi teknologi dan praktiknya. Dengan kemajuan tekhnologi tersebut diharapkan dapat mempermudah akses Bimbingan Konseling dengan tanpa merubah konteks dari bimbingan dan konseling itu sendiri. Alat – alat atau media dalam era globalisasi ini sangat beragam dan mutakhir seperti telepon seluler, internet, komputer bahkan media sosial yang sekarang semakin banyak berkembang dan mudah diakses melalui smartphones, semua media tersebut akan mempermudah akses antara konselor dengan klien dalam proses pemberian bantuan.
Perkembangan yang pesat dan penggunaan internet untuk menghantarkan informasi dan komunikasi telah mengjjhasilkan bentuk-bentuk konseling baru, salah satunya adalah konseling jarak jauh yang dibantu teknologi, yang dapat diperbaharui dengan mudah dalam kaitannya dengan evolusi teknologi dan praktiknya. Dengan kemajuan tekhnologi tersebut diharapkan dapat mempermudah akses Bimbingan Konseling dengan tanpa merubah konteks dari bimbingan dan konseling itu sendiri. Alat – alat atau media dalam era globalisasi ini sangat beragam dan mutakhir seperti telepon seluler, internet, komputer bahkan media sosial yang sekarang semakin banyak berkembang dan mudah diakses melalui smartphones, semua media tersebut akan mempermudah akses antara konselor dengan klien dalam proses pemberian bantuan.
Dengan semakin berkembangnya tekhnologi tersebut diharapkan seorang konselor dapat menguasai ketrampilan dalam pelayanan konseling online karena jika tidak maka kondisi bimbingan konseling akan kian terpuruk karena konselor dianggap gagap tekhnologi dan tidak berkembang atau ketinggalan zaman. Oleh karena itu konselor harus mampu untuk mengikuti serta terlatih dalam penggunaan dan penerapan konseling melalui media tekhnologi.
Penggunaan tekhnologi dalam konseling yang berbasis internet ini memiliki keterbatasan sehingga diperlukan etika untuk mengatur proses layanan secara online supaya sesuai dengan standard dan etika dalam layanan konseling yang profesional. Dalam makalah ini akan dibahas tentang isu-isu etika dalam konseling online, kelebihan dan kelemahan dari pelaksanaan layanan konseling online.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa isu – isu etika dalam konseling online ?
2. Apa saja kelemahan dan kelebihan dari layanan konseling online ?
C. TUJUAN MAKALAH
1. Mengetahui isu – isu etika dalam konseling online
2. Mengetahui kelemahan dan kelebihan dari layanan konseling online
PEMBAHASAN
A. ISU – ISU ETIKA DALAM KONSELING ONLINE
Untuk menghadapi masalah etik, konselor mengembangkan kode etik profesional dan standard tingkah laku berdasarkan nilai–nilai yang telah disetujui bersama ( Hansen et.al, 1994,p.362 dalam Gladding, 2012 : 68 ). Jadi seorang konselor yang profesional harus betul – betul memahami dan dapat mengaplikasikan layanan konselingnya sesuai dengan kode etik yang sudah disusun oleh sebuah organisasi profesional, di Indonesia kode etik untuk konselor disusun oleh ABKIN.
Menurut Herlihy dan Corey ( 2006a, Dalam Corey, Corey & Callanan, 2011,p. 8 ) menyatakan bahwa kode etik memenuhi tiga tujuan :
“The first objective is to educate professionals about sound ethical conduct. Reading and reflecting on the standards can help practitioners expand their awareness and clarify their values in dealing with the challenges of their work. Second, ethical standards provide a mechanism for professional accountability. Practitioners are obliged not only to monitor their own behavior, but also to encourage ethical conduct in their colleagues. One of the best ways for practitioners to guard the welfare of their clients or students and to protect themselves from malpractice suits is to practice within the spirit of the ethics codes. Third, codes of ethics serve as catalysts for improving practice. When practitioners must interpret and apply the codes in their own practices, the questions raised help to clarify their positions on dilemmas that do not have simple or absolute answers”.
Jadi dalam kode etik harus memenuhi tiga tujuan yaitu :
Mendidik profesional tentang berprilaku etis, Membaca dan merenungkan standar dapat membantu para praktisi memperluas kesadaran mereka dan menjelaskan nilai-nilai mereka dalam menghadapi tantangan pekerjaan mereka.
Standar etika menyediakan mekanisme untuk akuntabilitas profesional, Praktisi wajib tidak hanya untuk memonitor perilaku mereka sendiri , tetapi juga untuk mendorong perilaku etis di rekan-rekan mereka . Salah satu cara terbaik bagi para praktisi untuk menjaga kesejahteraan klien atau siswa mereka dan untuk melindungi diri dari malpraktek adalah untuk berlatih dalam semangat kode etik.
Kode etik berfungsi sebagai katalis untuk meningkatkan praktek, praktisi harus menafsirkan dan menerapkan kode dalam praktek mereka sendiri , pertanyaan - pertanyaan yang diajukan dapat membantu untuk memperjelas posisi mereka pada suatu dilema permasalahan yang tidak memiliki jawaban sederhana atau absolut.
Tujuan utama dari kode etik itu sendiri adalah untuk mensejahterakan klien dengan memberikan pelayanan yang terbaik sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan dari klien. Selain itu, kode etik juga membantu meningkatkan kepercayaan publik terhadap integritas sebuah profesi dan melindungi klien terhadap konselor yang kurang kompeten ( Vacc, Juhnke & Nielsen, 2011, dalam Gladding, 2011 : 69 ).
Jadi bukan saja konselor yang memiliki pedoman untuk melakukan pelayanannya akan tetapi klien juga dapat menggunakan kode etik tersebut sebagai standard dan petunjuk dalam mengevaluasi konselornya apabila melakukan tretment dan layanan yang kurang jelas.
a. Etika dalam Konseling Online
Penggunaan komputer dan tekhnologi dalam konseling adalah bidang lain yang berpotensi menimbulkan permasalahan etik. Dengan lebih dari 300 website yang sekarang dijalankan oleh konselor individu (Ainsworth, 2002), kemungkinan terjadi pelanggaran akan informasi klien ketika komputer digunakan untuk mentransmisikan informasi antar konselor profesional. ( Glading,2012 : 79 ).
Courtland Lee, mantan presiden ACA telah menekankan, bahwa konseling melalui internet, harus dilakukan dengan cara yang etis sebagaimana yang dilakukan dalam bentuk layanan konseling lainnya (Lee: 1998 dalam Shaw & Shaw: 2006). Dengan semakin menjamurnya tekhnologi internet di masyarakat saat ini sangat memungkinkan untuk dilaksanakan konseling secara online, konseling online menunjukkan manfaat tersebut sebagai ketersediaan layanan kepada klien yang
(a) berada dalam geografis daerah terpencil ,
(b) secara fisik dinonaktifkan atau serius sakit dan tidak bisa meninggalkan rumah ( Sussman , 1998),
(c) akan biasanya tidak mencari konseling tradisional ( Alleman , 2002;Grohol , 2001; Morrissey , 1997) , dan
(d) akan merasa lebih nyaman mengekspresikan diri dalam format tertulis ( Grohol, 1999b , 2001; ISMHO , 2000). (Shaw & Shaw: 2006).
Dari keterbatasan–keterbatasan dalam konseling online yang berbeda dengan proses dari konseling face to face tersebut maka penting untuk mengatur etika dalam pelaksanaannya. Secara jelas Mallen, Vogel, & Rochlen ( 2005 ) bahwa Profesional kesehatan mental memiliki tanggung jawab mengevaluasi masalah etika, hukum, dan klinis yang berhubungan dengan memberikan konseling dan layanan perilaku untuk individu dengan jarak jauh,
Vanden Bos dan Williams (2000) setuju bahwa profesional kesehatan mental harus membuat keputusan tentang bagaimana mereka ingin menggabungkan pengiriman layanan melalui Internet ke dalam praktek mereka, tetapi mereka juga menyatakan bahwa asosiasi profesional harus mengembangkan standar untuk layanan ini. ( Corey,Corey & & Callanan, 2011,p.180 ).
Konselor yang melakukan layanan konseling secara online tersebut memerlukan akuntabilitas dan ikatan kepercayaan yang tinggi dari klien online mereka, diantaranya yang memberikan contoh kepercayaan yang kejujuran dan kompetensi ( Cohen & Cohen , 1999) yaitu online konselor harus secara jelas mengidentifikasi diri mereka dan kualifikasi mereka kepada klien .
Hal tersebut menjadi sangat penting sekali bagi organisasi profesi untuk merancang pedoman yang efektif untuk konseling online sebelum terjadi kasus atau masalah hukum yang diakibatkan dari penggunaan layanan konseling online tersebut.
Kode Etik untuk layanan konseling online sudah disusun standardnya oleh organisasi atau lembaga yang berwenang dibidang konseling diantaranya adalah ACA ( 2005 A.12.a ) tentang Penerapan Tekhnologi, Kode Etik dari American Mental Health Counselor Association (AMHCA, 2000) meliputi pedoman untuk konseling online internet bahwa isu-isu yang berkaitan dengan kerahasiaan alamat, klien dan identifikasi konselor, pembebasan klien, membangun hubungan konseling online, kompetensi, dan pertimbangan hukum.
APA (2002) menyatakan bahwa etika psikolog yang menawarkan layanan melalui transmisi elektronik menginformasikan klien / pasien dari risiko terhadap privasi dan batas-batas kerahasiaan. Sedangkan di Indonesia Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia belum mengeluarkan kebijakan tentang standarisasi mengenai layanan konseling melalui internet secara khusus bagi layanan bimbingan konseling di Indonesia.
Secara khusus NBCC (2001) dan ACA (2005) membahas mengenai pedoman dan etika dalam layanan konseling melalui internet, Secara umum, etika dalam layanan konseling melalui internet menyangkut:
1. pembahasan mengenai informasi mengenai kelebihan dan kekurangan dalam layanan,
2. penggunaan bantuan teknologi dalam layanan
3. ketepatan bentuk layanan,
4. akses terhadap aplikasi komputer untuk konseling jarak jauh,
5. aspek hukum dan aturan dalam penggunaan teknologi dalam konseling,
6. hal-hal teknis yang menyangkut teknologi dalam bisnis dan hukum jika seandainya layanan diberikan antar wilayah atau negara,
7. berbagai persetujuan yang harus dipenuhi oleh konseli terkait dengan teknologi yang digunakan, dan
8. mengenai penggunaan situs dalam memberikan layanan konseling melalui internet itu sendiri (ACA: 2005 Se k.A.12).
Dalam kode etik menurut NBCC ( 2011 ) dalam praktik konseling yang profesional, konselor online juga mesti mengikuti standard – standard dalam praktik ini yang bisa di katagorikan yaitu mengenai
(a) Hubungan dalam Konseling Internet,
(b) Kerahasiaan dalam Konseling Internet,
(c) Aspek Hukum, Lisensi dan Sertifikasi. (Gibson & Mitchell, 2011 : 807 – 809).
Penjelasan untuk masing – masing aspek tersebut adalah sebagai berikut :
(a) Hubungan dalam Konseling Internet,
(b) Kerahasiaan dalam Konseling Internet,
(c) Aspek Hukum, Lisensi dan Sertifikasi. (Gibson & Mitchell, 2011 : 807 – 809).
Penjelasan untuk masing – masing aspek tersebut adalah sebagai berikut :
a. Hubungan dalam Konseling Internet
Konselor yang memberikan layanan konseling secara online memiliki kewajiban untuk menginformasikan berbagai keadaan, ketentuan dan persyaratan konseling yang harus diketahui, dipahami dan diterima oleh calon konseli yang menyangkut dengan pelayanan konseling melalui internet yang diberikan oleh konselor tersebut. Keadaan, ketentuan dan persyaratan yang harus diinformasikan kepada konseli. ( Nabilah, 2010 ).
Konselor yang memberikan layanan konseling secara online memiliki kewajiban untuk menginformasikan berbagai keadaan, ketentuan dan persyaratan konseling yang harus diketahui, dipahami dan diterima oleh calon konseli yang menyangkut dengan pelayanan konseling melalui internet yang diberikan oleh konselor tersebut. Keadaan, ketentuan dan persyaratan yang harus diinformasikan kepada konseli. ( Nabilah, 2010 ).
Dalam Krauss ( 2010 : 93 – 95 ) menjelaskan bahwa dalam layanan konseling online seorang konselor harus memberikan penjelasan pada kliennya tentang batas – batas, keefektifan dan resiko dalam menggunakan media internet yang dimungkinkan terjadi, konselor juga menginformasikan pada kliennya untuk dimungkinkan melakukan konseling secara f2f, mengetahui identitas yang lebih jelas lagi tentang klien juga sangat dibutuhkan untuk menjalin hubungan konseling online untuk menghindari adanya pemalsuan data dan informasi dari kliennya serta dimungkinkan adanya situasi darurat yang dimungkinkan terjadi pada saat dilakukannya sesi konseling.
b. Kerahasiaan dalam Konseling Internet
Profesional kesehatan mental memiliki tanggungjawab etis untuk melindungi klien dari pengungkapan yang tidak sah dari informasi yang diberikan dalam hubungan terapeutik ( Corey et al . , 1998) .
Kerahasiaan dan batas-batasnya adalah isu-isu penting untuk dipahami bagi orang yang mempertimbangkan berbagai tindakan bantuan . Secara umum, terapis profesional harus ketat menjaga kerahasiaan. Bahkan, terapis diwajibkan oleh hukum, profesional peraturan, dan kode etik untuk menjaga kerahasiaan klien mereka ( Krauss, 2010 : 98 ).
Konselor perlu untuk menjelaskan pada klien tentang keterbatasan penyimpanan data tentang komunikasi dan informasi yang dilakukan melalui online internet sehingga diperlukan metode – metode penyandian dan hal tersebut perlu untuk disampaikan dan diinformasikan kepada klien, mempertimbangkan banyaknya “hacker” yang dapat menembus situs yang aman dan bahkan yang terenskripsi sekalipun dengan menggunakan kode – kode. Oleh karena itu konselor online tidak bisa benar-benar menjamin kerahasiaan klien melalui Internet ( Rahav , 1994 dalam Shaw & Shaw, 2006) , dan mereka harus menyatakan ini di situs Web mereka.
c. Hukum, Lisensi dan Sertifikasi dalam konseling online
Kredensial memberikan klien cara untuk mengukur kompetensi konselor dan kesempatan untuk memverifikasi derajat dan lisensi konselor. Koocher dan Keith - Spiegel ( 1998) mengidentifikasi tiga tingkat kredensial yaitu :
- Primer kredensial menunjukkan gelar yang diperoleh dari lembaga terakreditasi dan pelatihan tambahan yang signifikan dengan instruktur terlatih
- Kredensial sekunder menunjukkan lisensi apapun atau sertifikasi yang memegang konselor , konselor harus menyediakan nomor lisensi atau sertifikasi dalam keadaan yang bermasalah.
- Kredensial tersier menunjukkan adanya keanggotaan dari asosiasi profesi konselor.
- Selain daftar kredensial , konselor juga harus memberikan alternatif berarti bagi klien untuk menghubungi mereka , persyaratan - persyaratan penting dalam kasus / keadaan darurat. ( Shaw & Shaw , 2006 ).
Tidak terdapatnya batasan geografi memberi kesempatan konseli dan konselor yang berasal dari berbagai wilayah, bahkan negara terlibat dalam proses terapeutik. Jika dilihat dari sisi hukum, tentu saja hal ini akan mengundang permasalahan – permasalahan terkait dengan wilayah praktek dan lisensi konselor, untuk itulah dalam hal ini terdapat etika layanan konseling melalui internet diatur mengenai aspek hukum, lisensi dan sertifikasi bagi konselor yang memberikan layanannya secara online melalui internet. ( Nabilah,2010 ).
Konselor yang secara profesional dalam melakukan konseling diwajibkan untuk memiliki lisensi dan tersertifikasi guna mneghindari adanya malpraktek dan untuk menjaga kepercayaan dari kliennya, konselor online juga demikian halnya perlu untuk mempertimbangkan aspek – aspek hukum, lisensi dan sertifikasi sebelum memtuskan untuk melakukan konseling secara online dengan kliennya.
Dilihat dari segi hukum seorang konselor yang melakukan konseling online dimungkinkan akan berhubungan dengan klien yang berada di luar negara atau lintas negara dimana hukum yang berlaku diantara klien dan konselor akan berbeda. Foxhall (2000; Corey,Corey & & Callanan, 2011,p.185) menyatakan bahwa masalah yang paling mendesak tentang perilaku kesehatan jarak jauh atau konseling internet adalah hukum bagi praktisi kesehatan mental yang dilisensikan dalam satu negara untuk membantu klien yang berada di negara lainnya yang dilakukan melalui telefon atau internet.
Di beberapa negara , lisensi kesehatan mental profesional tidak bisa memberikan konseling online di negara-negara di mana mereka tidak berlisensi. Riemersma dan Leslie ( 1999 ) menulis bahwa terapis yang memilih untuk menawarkan layanan profesional melalui internet harus berhati-hati untuk memikirkan cara-cara untuk membatasi tanggung jawab hukum mereka dan untuk mengurangi potensi kerugian bagi klien mereka.
Di beberapa negara , lisensi kesehatan mental profesional tidak bisa memberikan konseling online di negara-negara di mana mereka tidak berlisensi. Riemersma dan Leslie ( 1999 ) menulis bahwa terapis yang memilih untuk menawarkan layanan profesional melalui internet harus berhati-hati untuk memikirkan cara-cara untuk membatasi tanggung jawab hukum mereka dan untuk mengurangi potensi kerugian bagi klien mereka.
Oleh karena itu, konselor wajib untuk berlatih dengan baik sehubungan hukum negara konselor dan negara klien ( ACA , 1995, shaw & shaw, 2006 ). Sehingga konselor yang hendak melakukan konseling secara online penting untuk mengkaji kode – kode etik di wilayah mana yurisdiksi konselor internet dan klien internet berada. Karena variabilitas luas ini melekat dalam yurisdiksi konselor online, pedoman etika oleh asosiasi nasional menjadi lebih penting karena pedoman terus berfungsi lintas negara.
B. KELEMAHAN DAN KELEBIHAN DALAM KONSELING ONLINE
Konseling yang dilakukan secara online memang berbeda dengan konseling yang dilakukan secara f2f. Sebelum membahas tentang kelemahan dan kelebihan dalam konseling maka akan di paparkan perbedaan antara konseling online dan konseling tradisional atau f2f. Martin (2007; dalam Nabilah, 2010) menggambarkan perbedaan karakteristik secara umum antara layanan konseling secara langsung tatap muka dengan layanan konseling melalui internet sebagai berikut :
Setelah melihat perbedaan antara konseling online dan konseling tradisonal yang dilakukan secara langsung atau f2f, maka dapat dilihat kelebihan dan kekurangan dari konseling online.
Secara khusus dalam Corey,Corey & Callanan ( 2011, p.182 – 184 ) membahas tentang kekurangan dan kelebihan dalam pelaksanaan layanan konseling online. Kebanyakan ahli setuju bahwa apa yang saat ini ditawarkan melalui konseling Internet tidak dapat dianggap psikoterapi tradisional, namun banyak yang berpikir bentuk pelayanan ini dapat menguntungkan konsumen yang enggan untuk mencari pengobatan yang lebih tradisional ( Rabasca , 2000).
Manfaat menggunakan Intervensi Internet sangat luas karena potensi untuk lebih banyak orang yang dapat menerima layanan intervensi pengobatan berbasis web menawarkan kesempatan bagi para praktisi untuk memberikan perawatan perilaku yang lebih khusus disesuaikan dengan individu yang mungkin perlu mencari bantuan profesional dari rumah mereka sendiri . Ritterband dan rekan menunjukkan bahwa masalah etika dan hukum , termasuk privasi, kerahasiaan , validitas data, kredensial profesional , potensi penyalahgunaan intervensi Internet , dan kesetaraan akses internet , harus diatasi ketika menggunakan intervensi Internet . Selain itu, intervensi Internet pertama harus menunjukkan kelayakan dan kemanjuran melalui pengujian ketat yang lebih khusus.
Riemersma dan Leslie ( 1999) menunjukkan keuntungan bagi konsumen konseling Internet :
- Beberapa konsumen menginginkan singkat , nyaman , dan anonim layanan terapi
- Beberapa klien yang tidak bersedia untuk berpartisipasi dalam terapi tradisional mungkin bersedia menerima bantuan online
- Untuk penyandang cacat fisik , layanan online yang lebih mudah diakses
- Bentuk konseling cocok untuk pendekatan pemecahan masalah dan menarik bagi banyak konsumen
- Klien yang mengalami kecemasan ketika berbicara face -to-face dengan ahli terapi , atau klien yang sangat pemalu , mungkin merasa lebih nyaman membicarakan masalah mereka melalui komputer
Sampson , Kolodinsky , dan Greeno ( 1997) mengidentifikasi beberapa manfaat bagi terapis yang memberikan layanan konseling online :
- Akses ke klien di daerah pedesaan
- Memfasilitasi menugaskan, menyelesaikan, dan menilai pekerjaan klien
- Meningkatkan pencatatan
- Memperluas kolam layanan rujukan
- Meningkatkan fleksibilitas dalam penjadwalan
- Meningkatkan pilihan untuk pengawasan dan konfrensi kasus
- Meningkatkan pengumpulan data penelitian
Sedangkan kerugian dari menggunakan layanan konseling online meliputi:
- menjaga kerahasiaan melalui Internet,
- penanganan situasi darurat
- kurangnya informasi nonverbal seperti wajah ekspresi , nada suara , dan bahasa tubuh ( Sussman , 1998)
- bahaya menawarkan layanan online atas negara garis yurisdiksi ;
- kurangnya penelitian manfaat layanan konseling online ( Bloom , 1997) , dan
- kesulitan mengembangkan hubungan terapeutik dengan klien yang tidak pernah melihat face to face ( Bloom , 1998; Morrissey , 1997 dalam Shaw & Shaw, 2006 ).
Corey, Corey & Callanan ( 2011,p.184 ) menyimpulkan bahwa memiliki tekhnologi yang cukup bagus belum tentu bisa diberikan pada semua klien atau untuk setiap klien. Manfaat yang potensial perlu lebih besar dari potensi risiko bagi klien untuk secara etis membenarkan segala bentuk teknologi yang digunakan untuk tujuan konseling. Beberapa kelemahan dari penggunaan konseling online adalah sebagai berikut :
1. Diagnosis tidak akurat atau pengobatan tidak efektif dapat diberikan karena kurangnya petunjuk perilaku dan kurangnya informasi nonverbal
2. Kerahasiaan dan privasi tidak dapat dijamin
3. Tugas Terapis untuk memperingatkan atau melindungi orang lain dibatasi
4. Klien yang bunuh diri , menderita kecemasan yang ekstrim atau depresi , atau yang berada dalam krisis tidak dapat menerima perhatian segera memadai.
5. Anonimitas memungkinkan anak-anak untuk menyamar sebagai orang dewasa mencari pengobatan
6. Masalah Transferensi dan kontratransferensi adalah sulit untuk memperkirakan alamat
7. Sulit untuk memperkirakan mengembangkan aliansi terapi yang efektif dengan individu yang belum pernah terlihat dalam konteks konseling f2f/tradisional
8. Kompleks masalah psikologis jangka panjang tidak mungkin berhasil diobati.
Dalam artikel dari Nabilah ( 2010 ) disajikan kelemahan dan keuntungan antara konseling online dan konseling tradisonal dalam tabel 2 yaitu sebagai berikut :
Shaw dan Shaw ( 2006; Corey,Corey & Callanan,2011, p.184 ) menunjukkan bahwa perdebatan tentang kegunaan online konseling akan berlanjut sampai ada data yang memadai pada efektivitas hasil dari media ini . Mereka berpendapat bahwa informasi dari dokumen persetujuan negara menyatakan bahwa konseling online bukanlah pengganti dari konseling tradisional face-to – face.
Bagi konselor Indonesia yang belum memiliki kode etik untuk pelaksanaan layanan konseling online hal tersebut menjadi bahan pertimbangan dan sebuah alternatif dalam bentuk layanan konseling. Konselor diharapkan untuk mulai mengembangkan kompetensi di bidang tekhnologi demi menghadapi era globalisasi dengan segala kecanggihan dan kemajuan di bidang tekhnologi dan konselor diharapkan untuk terus belajar dan berlatih dalam meningkatkan kemampuan dan profesionalitasnya dalam pemberian layanan konseling sehingga konselor di Indonesia pada akhirnya juga akan mampu melaksanakan konseling dengan berbasis internet secara profesional dan bermartabat yang dilandaskan pada etika profesi yang ada.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pada dasarnya etika dalam konseling melalui TI sama dengan etika dalam konseling tatap muka. Kelebihan dan kelemahan dalam konseling dapat menjadi pertimbangan kedua belah pihak, yaitu konselor dan konseli. Karena pelayanan BK melalaui TIK hanyalah sebagai alternative, jika pelayanan BK secara langsung atau tatap muka tidak memungkinkan untuk dilaksanakan
B. Saran
Isu etika konseling online dalam BK dapat menjadi pertimbangan bagi para konselor dalam melaksanakan proses konseling. Tetapi tetap tidak menghilangkan prinsip dan cara yang sesuai dengan ketentuan proses konseling yang seharusnya.
Untuk mahasiswa, guru, konselor, siswa, dan lain lain, sekiranya perlu memahami dan mengaplikasikan mengenai perkembangan Teknologi dalam konteks pendidikan ini terutama adanya isu etika konseling online yaitu dengan melihat adanya kelemahan dan kelebihannya.
Sebagai manusia yang hidup dengan berbagai kemajuan zaman serta teknologi yang semakin berkembang, telah menantang kita untuk selalu bersifat proaktif dalam menjawab bentuk peluang yang dilakukan dalam perspektif teknologi. Jauh dari semua itu, kita harus dapat memanfaatkan teknologi sebagai sarana maupun media yang digunakan dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Corey, Gerald., Schneider.Corey,Marianne & Callanan,Patrick. ( 2011 ). Issues and Ethics In The Helping Professions Eight Edition. Brooks/Cole, Cengage Learning. Belmont, CA, USA.
E.Shaw, Holly., F. Shaw, Sarah. (2006). Critical Ethical Issue in Online Counseling: Assesing Current Practices With an Ethical Intent Checklist. Journal of Counseling and Development: JCD; Winter 84,1; Proquest Education Journal, 41
Kraus, Ron., Stricker, George & Speyer, Cedric. ( 2010 ). Online Counseling: A Handbook for Mental Health Professionals. Academic Press. San Diego California, USA
L.Gibbson,Robert & H.Mitchell,Marianne.(2011). Bimbingan dan Konseling ( terjemahan edisi ke tujuh ). Pustaka Pelajar.Yogyakarta
Nabilah.( 2010 ) Artikel: Pengembangan Media Layanan Konseling Internet di Perguruan Tinggi ( Studi keterbacaan Media Layanan Konseling Internet di Universitas Negeri Jakarta ). Tidak diterbitkan. Tersedia di https://www.academia.edu/. Di download pada tanggal 22 Desember 2013
T. Gladding, Samuel. ( 2012 ). Konseling: Profesi yang meyeluruh ( terjemahan ). PT Indeks. Jakarta
Terimakasih Sudah Meluangkan Waktu Berkunjung Di Blog Ini 😁
EmoticonEmoticon