Sejarah Pendidikan Karakter

Tags

Sejarah Pendidikan Karakter

Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etisspiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.

Sejarah Pendidikan Karakter

Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.

Menurut Foerster, ada 4 ciri dasar dalam pendidikan karakter, yaitu sebagai berikut:

  1. Keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. 
  2. Koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang. 
  3. Otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Hal ini dapat dilihat melalui penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain. 
  4. Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. 

Kematangan ke4 karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya. 

Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme. Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter mulai pendidikan dasar, antara lain adalah Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Di negara-negara tersebut implementasi pendidikan karakter yang telah tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.

Di Indonesia, pendidikan karakter sebenarnya sudah lama diterapkan dalam proses pembelajaran. Bahkan dalam program kerja seratus hari pertama, Depdiknas menginstruksikan kepada sekolah-sekolah untuk menanamkan beberapa karakter pembangun mental (character building) bagi siswa. 

Hingga saat ini, secara kurikuler telah dilakukan berbagai upaya untuk menjadikan pendidikan lebih bermakna bagi individu, tidak sekadar memberi pengetahuan (kognitif), tetapi juga menyentuh tataran afektif dan psikomotor melalui mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Ilmu Pengetahuan Sosial, Bahasa Indonesia, dan Olahraga. 

Namun harus diakui semua itu belum mampu mewadahi pengembangan karakter secara dinamis dan adaptif terhadap pesatnya perubahan. Implementasi pendidikan karakter itu tidak bisa berjalan optimal lantaran beberapa hal, 

Pertama, kurang terampilnya para guru menyelipkan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu pendidikan karakter perlu dirancang-ulang dalam wadah yang lebih komprehensif dan lebih bermakna. Pendidikan karakter perlu direformulasikan dan direoperasionalkan melalui transformasi budaya dan kehidupan satuan pendidikan. 

Kedua, sekolah terlalu fokus mengejar target-target akademik khususnya target lulus ujian nasional (UN). Karena sekolah masih fokus pada aspek-aspek kognitif atau akademik, baik secara nasional maupun lokal di satuan pendidikan, maka aspek soft skils atau non-akademik sebagai unsur utama pendidikan karakter justeru diabaikan. 

Artikel Terkait

Terimakasih Sudah Meluangkan Waktu Berkunjung Di Blog Ini 😁


EmoticonEmoticon